Type Keyword(s) to Search
FAMILY & LIFESTYLE

3 Metode Terapi Penanganan Ginjal Kronik di Indonesia

3 Metode Terapi Penanganan Ginjal Kronik di Indonesia

Follow Mother & Beyond untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow Instagram @motherandbeyond_id dan Youtube Mother & Beyond

Penyakit ginjal kronik adalah kondisi ginjal yang mengalami kelainan struktur atau gangguan fungsi yang sudah terjadi lebih dari 3 bulan. Kondisi ini dapat terus memburuk dan bahkan jika sudah cukup parah tidak bisa pulih kembali.

Jika fungsi ginjal sudah sangat menurun atau bahkan tidak berfungsi, maka pasien perlu segera mendapatkan terapi pengganti ginjal. Terapi ini dilakukan agar tubuh tetap dapat berfungsi normal, meski daya kerja ginjal tak lagi optimal.

Pada virtual press conference Peringatan Hari Ginjal Sedunia 2021 beberapa waktu lalu, dr. Aida Lydia, Ph.D, Sp.PD-KGH, ketua umum Pernefri (Perhimpunan Nefrologi Indonesia) memaparkan beberapa cara yang bisa dilakukan untuk menangani ginjal kronik di Indonesia, antara lain:

1. Hemodialisis (HD)

Metode ini biasa dikenal sebagai proses "cuci darah" dan paling sering dilakukan di Indonesia. Proses ini melibatkan alat dialiser, yang berfungsi sebagai "ginjal buatan". Dengan alat ini, darah dipompa keluar tubuh, disaring, lalu dikembalikan ke dalam tubuh.

Terapi ini perlu dilakukan sebanyak 2-3 kali seminggu, karena tubuh terus membuang sisa metabolisme berupa racun dan jika menumpuk dapat membahayakan kesehatan. Adapun beberapa kelebihan metode ini antara lain pola makan yang lebih fleksibel dan kesehatan pasien dapat dipantau dengan baik. Sedangkan kekurangannya adalah rentan penularan penyakit melalui darah, kadar hemoglobin yang menurun, serta dapat terjadi komplikasi.

2. Peritoneal Dialisis

Terapi ini menggunakan membran peritoneum yang ada di perut sebagai filter. Terapi ini dapat dilakukan dengan dua cara, yakni Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) dan Automated Peritoneal Dialysis (APD). Sejauh ini, baru terapi CAPD yang bisa diakses di Indonesia.

Pada CAPD, darah tidak perlu dikeluarkan dari tubuh untuk disaring, karena memaksimalkan membran peritoneum perut. Terapi ini juga tidak menggunakan mesin, tapi menggunakan alat yang lebih sederhana dan praktis. CAPD dilakukan 3-4 kali sehari setiap hari dengan memasukkan cairan ke dalam rongga peritoneum.

Caranya, cairan dialisat akan dimasukan ke dalam rongga peritoneum, lalu cairan dibiarkan selama 4-6 jam untuk menyerap zat racun dari tubuh, dan kemudian cairan dikeluarkan. Proses yang mudah membuat terapi ini tak perlu dilakukan di rumah sakit, asalkan tempatnya higienis dan pasien atau pendamping menguasai proses ini.

Kelebihan CAPD adalah cara dan alat yang sederhana, dapat dilakukan di mana saja, serta dapat menjalani pola makan yang lebih fleksibel. Sedangkan kekurangannya antara lain risiko infeksi jika kondisi tidak higienis, dapat menimbulkan rasa jenuh, rasa tidak nyaman saat cairan didiamkan di dalam perut, serta dapat meningkatkan risiko sakit punggung dan hernia.

3. Transplantasi Ginjal

Terapi ini adalah metode yang memanfaatkan sebuah ginjal sehat dari donor. Ginjal sehat dapat berasal dari individu yang masih hidup atau yang baru saja meninggal. Ginjal ini kemudian "dicangkok" dan akan mengambil alih fungsi ginjak yang sudah rusak.

Ginjal yang rusak tidak perlu dikeluarkan atau dibuang, kecuali berisiko menimbulkan infeksi atau tekanan darah tinggi. Setelah dilakukan pencangkokan, tubuh dapat menolak ginjal yang baru. Untuk itu, dokter akan memberikan obat imunosupresan agar mencegah reaksi penolakan tersebut. Namun jika reaksi penolakan tetap terjadi meski obat dikonsumsi, maka dokter akan menyarankan untuk melakukan dialisis atau transplantasi ginjal lain.

Beberapa keuntungan transplantasi ginjal adalah ginjal baru akan bekerja seperti ginjal normal, rehabilitasi pasien sangat baik, risiko rasa sakit atau kematian lebih rendah dibandingkan pasien yang menjalani dialisis, dan kualitas hidup yang lebih baik. Sedangkan kekurangannya yakni sulitnya mencari donor ginjal dan pasien perlu rutin minum obat. (Gabriela Agmassini/SW/Dok. Freepik)