FAMILY & LIFESTYLE

Dampak Buruk Masalah Kesehatan Mental Anak yang Tak Teratasi


Follow Mother & Beyond untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow Instagram @motherandbeyond_id dan Youtube Mother & Beyond


Selain kesehatan fisik, penting bagi para orang tua untuk memperhatikan kesehatan mental anak-anak mereka. Pasalnya saat ini kesehatan mental merupakan isu yang dianggap serius terutama di kalangan remaja. Dalam Bincang virtual bertajuk #HaloTalks: Gangguan Mental pada Anak, Musuh yang Tak Terlihat' bersama Halodoc, pada 23 Juli 2020 lalu, diungkapkan berbagai data statistik yang mengindikasikan maraknya gangguan mental pada anak, khususnya di usia remaja.

Berdasarkan hasil Riskesdas 2018, di Indonesia, prevalensi gangguan mental emosional remaja usia di atas 15 tahun meningkat menjadi 9,8% dari yang sebelumnya 6% di tahun 2013. Sementara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga mencatat 15% anak remaja di negara berkembang berpikiran untuk bunuh diri, di mana bunuh diri merupakan penyebab kematian terbesar ketiga di dunia bagi kelompok anak usia 15-19 tahun.

Dampak Buruk Masalah Kesehatan Mental Pada Anak

Menurut Psikolog Anak, Annelia Sari Sani, S.Psi, yang juga merangkap sebagai Ketua Satgas Penanganan COVID-19 IPK Indonesia, masalah kesehatan mental yang terjadi di masa kanak-kanak, seperti ADHD, gangguan kecemasan, autistic spectrum disorder, gangguan relasi dengan orang tua, serta gangguan perilaku makan sehingga gagal tumbuh, merupakan akar dari masalah kesehatan mental yang mungkin dihadapi anak saat ia dewasa kelak.

Nah, bila masalah kesehatan mental pada masa kanak-kanak tidak teratasi dan berlanjut sampai dewasa, maka kemungkinan untuk perbaikan dan kesembuhan itu lebih kecil atau disebut memiliki prognosis yang buruk, dibandingkan bila terjadi masalah kesehatan mental saat dewasa.

Kemudian, bila anak mengalami masalah kesehatan mental, biasanya mereka akan mendapatkan stigma yang buruk. "Mungkin orang akan berpikir bahwa saat kecil saja sudah memiliki masalah kesehatan mental, bagaimana kalau ia sudah dewasa? Mau jadi apa masa depannya? Pasti banyak stigma," kata Annelia.

Anak-anak yang memiliki gangguan psikologis pada maka kanak biasanya juga akan memiliki hambatan untuk mendapat akses layanan kesehatan dan pendidikan. "Terutama pendidikan ya. Tidak banyak sekolah yang mau menerima anak-anak yang sudah mendapat diagnosis atau label mengalami gangguan kesehatan mental," terangnya.

Anak yang memiliki masalah kesehatan mental juga rentan terhadap gangguan perilaku atau gangguan psikologis yang lebih serius dan berat. "Jadi perkembangan perjalanan gangguannya makan lama atau makin dewasa akan semakin berat bila tidak segera diatasi di masa kanak-kanak," jelasnya.

Selain itu, anak-anak yang memiliki masalah kesehatan mental biasanya juga mengalami keterlambatan perkembangan, pencapaian hasil belajar tidak baik, dan yang paling menyedihkan adalah sulit mencapai kualitas hidup yang baik dan produktif terutama di masa dewasa muda dan dewasa selanjutnya.

Pentingnya Menjaga Kesehatan Mental Anak

Dengan berbagai dampak buruk yang ada, maka penting bagi orang tua untuk lebih peka terhadap perubahan perilaku anak dan memberikan penanganan sejak dini bila Si Kecil memiliki masalah kesehatan mental, guna meminimalisasi risiko jangka panjang saat anak tumbuh dewasa.

Bila orang tua menjaga kesehatan mental anak sejak dini, Si Kecil akan memiliki kesehatan mental yang baik sehingga ia juga memiliki beberapa karakter positif dalam dirinya seperti, anak akan dapat beradaptasi dengan berbagai keadaan.

"Dengan tantangan kehidupan yang makin beragam seperti saat ini, maka kemampuan adaptasi adalah suatu hal yang sangat penting. Pada periode pandemi ini misalnya, kita harus beradaptai dengan kebiasaan baru. Jadi kalau anak-anak kita tidak bisa adaptasi, lalu mau bagaimana ke depannya?" ungkap Annelia.

Selain itu, anak yang sehat mental biasanya dapat menghadapi stres dengan baik, menjaga hubungan baik, serta dapat bangkit dari kesulitan. "Diibaratkan seperti bola, kalau sudah jatuh ia bisa memantul kembali. Kalau dalam bahasa psikologi, biasa disebut resiliensi atau daya tahan, ketangguhan," jelasnya. (Vonda Nabilla/SW/Dok. Freepik)