BABY

Kisah Derita Jefrin yang Jadi Ayah di Umur 15 Tahun


Follow Mother & Beyond untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow Instagram @motherandbeyond_id dan Youtube Mother & Beyond


Mata Jefrin Bayona mendadak terbelalak begitu mendengar rengekan bayi di sampingnya. Sejurus kemudian remaja 15 tahun itu pun bangun dari pembaringannya lalu menggendong bayinya, Estiven. Ia tengok ke jam dinding, arah jam sudah mengarah jam 4 pagi dan ia hanya bisa menghela napas panjang sambil memupuk pundak – berharap Estiven segera tertidur.

Memang, tak mudah menjadi ayah, apalagi di usia remaja. Jefrin sendiri tak mengira ia bakal merawat bayi di usianya yang masih muda. Ia pun mengaku sangat menderita jadi ayah di hari pertama. Di mana ia hampir tidak tidur karena Estiven.

"Bayi itu membangunkan saya pada pukul 10.00 (malam), 12.00 (dini hari), dan 04.00 pagi," kata Jefrin seperti dilansir dalam laman National Geographic, Rabu, (28/3/2018)

Wajah kesal Jefrin pun tak bisa ditutup-tutupi. Itu karena ia harus melawan rasa ngantuk,yang membuatnya sebagai murid bakal terganggu. "Jam masuk sekolah saya pagi soalnya," kata Jefrin.

Tetapi, ia sadar betul bahwa dirinya tidak bisa menelantarkan Estiven begitu saja. Ia punya tangung jawab terhadap bayi itu. Jefrin harus rela menggendong bayi itu kemana-mana– meskipun dalam urusan mengganti baju sekolah.

"Jika aku sudah benar-benar lelah dengan Estiven, aku akan pergi ke dapur untuk membuat secangkir cokelat panas. Sementara Estiven, aku letakkan di stroller, di ruang tamu," terangnya.

Kasihan ya Moms? Tapi eitss, semoga saja Anda tidak berpikiran seperti itu. Karena apa yang dialami Jefrin bukanlah kejadian nyata. Ya, Jefrin hanya sedang melakukan simulasi dalam program pencegahan kehamilan di usia remaja di salah satu SMP di Kolombia.

Sementara Estiven, ia hanyalah bayi robot yang dirancang seperti bayi untuk menyukseskan program pemerintah itu. Di mana ia akan menangis saat dini hari, entah karena minta makan atau minta pokoknya diganti.

Dalam boneka itu terdapat chip yang mencatat reaksi Jefrin dan murid lainnya begitu bayinya menangis. Seberapa mereka sigap, akan tercatat dalam chip tersebut.

Alasan di balik menerapkan program ini karena pemerintah Kolombia ingin menekan jumlah pernikahan dini. Pemerintah tidak mau masyarakatnya menikah di kondisi mereka belum siap atau dalam usia belia.

Menurut Direktur Program, Camila Guzman, simulasi memiliki punya bayi ini bisa menyadarkan pada murid. Karena pendidikan seks tanpa praktek dirasa kurang efektif secara psikologis, makanya ada simulasi.

"Pendidikan seks dan simulasi bayi sama-sama penting. Kedua topik ini saling menguatkan," katanya. Adapun dalam program ini Jefrin dan kawan-kawannya harus menjadi ayah selama 48 jam. Lalu, diajarkan bagaimana mengurus anak dan di akhir program ini akan dinilai.

Menariknya, menurut evaluasi Camila, program ini efektif menekan kehamilan pada remaja. Sebuah penelitian di satu wilayah Kolombia menemukan bahwa tingkat kehamilan pada remaja berkurang sampai 40 persen. Hasil itu didapat setelah meneliti 1.400 siswa.

Salah satu murid yang menjalani program ini merasakan tidak enaknya memiliki anak di usia muda. Ia merasa kesulitan menggapai cita-citanya kalau ia menjadi seorang ibu saat remaja.

"Saya tidak ingin punya bayi, saya ingin menjadi model," kata Alexandra. "Saya tidak mampu merawatnya kalau sekarang. Mungkin saat saya berumur 25 atau 26 dan sesudah saya bekerja." (Qalbinur Nawawi/Dok. Freepik)