TOODLER

Viral Anak Berselisih dengan Guru, Siapa yang Salah?


Follow Mother & Beyond untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow Instagram @motherandbeyond_id dan Youtube Mother & Beyond


Baru-baru ini, kembali jadi perbincangan tentang perselisihan anak dengan guru yang berujung orang tua murid menganiaya guru. Hal ini sendiri menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat. Sebagian ada yang mendukung guru, dan sebagian lagi mendukung apa yang dilakukan orang tua.

Melihat kondisi itu kita pun dibuat bingung bersikap, sambil mencoba menjawab pertanyaan yang muncul: sebenarnya sikap apa yang harus dipilih saat mengetahui anak berselisih dengan guru? Apa aturan main yang harus dilakukan orang tua agar perselisihan anak dengan guru tidak terjadi?

Menyitir tulisan pakar pendidikan, Doktor Martin Stephen dari National Mathematics and Science College-UK, bahwa orang tua tidak boleh kebablasan meski punya hubungan yang dekat dengan anak.

Memang, menjadi orang tua yang dekat dengan anak itu sangat baik. Agar anak terbuka dengan orang tua dan orang tua bisa mengawasi, membimbing, dan mendidik anak.

Sayangnya, terkadang saat hubungan orang tua dengan anak sudah dekat, orang tua jadi gelap mata saat anak melakukan kesehatan. Mereka membantu anak sekuat tenaga yang padahal anak-anak harus dilatih agar siap bertanggung jawab dari apa yang dilakukannya

Orang tua – baik ibu dan ayah – harus kompak saat memberi keputusan untuk anak. Apakah membantu anak atau tidak membantu. Tidak boleh ada keputusan yang bertolak belakang diantara sesama orang tua. Hal itu bakal membingungkan anak.

Menurut Stephen, orang tua harus tegas kalau memang anak salah – tidak membantunya. Karena, kalau niat baik tapi caranya tidak tepat akan jadi kontraproduktif. “Apakah Anda orang tua yang tergolong selalu menolong anak. Coba tanya kepada diri sendiri saat anak kita ditegur oleh asisten rumah tangga atas kesalahannya, apakah kita rela atau sebaliknya kita kembali memarahi asisten rumah tangga kita tersebut?,” ungkap Ari Fahrial Syam, pendidik dan praktisi klinik, seperti rilis yang diterima redaksi Mother&Baby, Senin (19/3/2018).

Ia menambahkan, punya sikap tegas ketika anak salah bukan tanpa alasan. Menurut pakar pendidikan tersebut, membela anak yang salah membuat perkembangan jiwa dan kedewasaan lama berkembang. Karena anak jadi tidak terbiasa membedakan mana yang baik dan benar. Dan anak akan mencari kambing hitam atas kesalahan yang dilakukannya.

Menurut Ari, sebagai orang tua boleh membela anak, bahkan diharuskan. Tapi kalau anak yang salah, perasaan ingin menolong harus ditahan. Tujuannya demi apa? Demi anak kita bisa lebih punya daya juang dan pribadi bertanggung jawab di masa depan.

“Saya jadi ingat ketika mengantar anak-anak saya tanding basket pertandingan antar klub beberapa minggu lalu. Pelatih basket memarahi anak-anak asuhnya di depan orang tuanya,” ungkap Ari.

“Dan orang tuanya termasuk juga saya hanya tersenyum karena memang anak saya wajar dimarahi atau ditegor karena mainnya tidak sesuai instruksi pelatih.” Menurutnya, teguran pelatih yang dialamatkan pada anak dan teman-temannya sudah sesuai dengan porsinya. Hal itu pasti membuat perkembangan jiwa, khususnya jiwa sportifitas anak muncul.

Kalau mau tidak dimarahi saat bertanding, main dengan sekuat tenaga dan jangan melanggar. Sementara kalau bermain curang atau tidak benar, harus siap untuk ditegur. Nilai inilah yang harus diajarkan orang tua anak: hukum sebab-akibat. Yakni, setiap sikap atau perilaku yang diambil punya konsekuensi yang harus dihadapi. Jangan menjadikan orang tua sebagai tameng untuk pemberi perlindungan.

“Orang tua sebaiknya tidak membela anak-anaknya ketika mereka salah dan jangan menyalahkan orang lain ketika anak-anak kita salah. Karena, sejatinya, hal ini membuat anak-anak kita tidak pernah belajar atas kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat,” pungkas Ari. (Qalbinur Nawawi/ Dok. Free Pik)