TOODLER

Ditemukan Metode Baru untuk Deteksi Autisme Sejak Dini


Follow Mother & Beyond untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow Instagram @motherandbeyond_id dan Youtube Mother & Beyond


Perkembangan dunia medis yang semakin maju, menghadirkan sebuah penelitian terbaru mengenai autisme. Riset yang dilakukan seorang ilmuwan dari Inggris ini merupakan lanjutan dari penelitian sebelumnya. Di mana tes darah dan urine ternyata bisa dilakukan sebagai metode untuk mengetahui anak mengalami gangguan autism spectrum disorders (ASD) ini.

Ragam Penyebab Autisme

Gangguan autisme sendiri nyatanya memang disebabkan oleh beragam hal. Tidak hanya secara genetik, tetapi juga faktor lingkungan, mutasi, dan varian genetik langka seperti mutasi transporter asam amino. Sebelumnya, peneliti dari University of Warwick dan Universitas Bologna, Italia juga menemukan adanya hubungan antara autisme dengan kerusakan protein dalam plasma darah.

Seperti yang dicantumkan oleh National Geogragphic, data di atas merupakan hasil dari penelitian yang diterbitkan di jurnal Molecular Autism, Senin (19/2/2018). Jurnal tersebut menjelaskan bahwa anak-anak dengan ASD mengandung dityrosine (DT) yang menandakan oksidasi reaktif dan zat modifikasi gula yang disebut advanced glycation end-products (AGEs) dalam darah mereka.

Berdasarkan data tersebut, dilakukan uji coba yang melibatkan 38 anak dengan diagnosa ASD dan 31 anak sehat lainnya, pada usia 5 sampai 12 tahun. Peneliti mengambil sampel darah dan urine dari dua kelompok anak tersebut dan hasilnya menunjukkan terdapat perbedaan secara kimiawi.

Dengan bantuan Universitas Birmingham, penelitian dilakukan dengan memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan (AI). Para pelaku riset mengamati beberapa senyawa dan mencari perbedaan antara anak yang memiliki gangguan autisme dengan kelompok anak yang sehat. Dan ternyata, hasil tes dengan metode ini terbilang akurat dan jauh lebih baik dari metode lain yang dilakukan saat ini.

Penelitian Lanjutan

Namun, tim peneliti masih akan mengulang penelitian terkait tes darah dan urine dengan jumlah peserta yang lebih banyak. Dari kelanjutannya nanti, juga diharapkan dapat melihat perkembangan apakah gangguan autis atau ASD dapat menjadi penyakit yang lebih parah.

"Penemuan kami dapat digunakan untuk memperbaiki diagnosis ASD awal. Kami harap tes ini juga dapat mengungkap faktor penyebab ASD yang lain," ujar Dr Naila Rabbani, pemimpin penelitian dari University of Warmick, dilansir dari The Independent (19/2/2018). Jika hasil riset ini berjalan baik, maka bisa membantu penanganan terhadap anak dengan ASD menjadi lebih cepat dan tepat.

Pada penelitian sebelumnya, telah dilakukan juga tes dengan indera penciuman pada anak ASD. Sikap mereka yang tak acuh dengan sesuatu di dekatnya membuat mereka juga tidak peka terhadap bebauan. Respons yang diberikan anak autis pun menunjukkan bahwa dokter dan ahli dapat mendeteksinya lebih cepat dengan presentas 81 persen.

Anak yang memiliki gangguan austis sendiri dinyatakan memiliki kesulitan saat melakukan interaksi dan komunikasi dengan lingkungan sekitar. Mereka cenderung mengalami gangguan berbicara, perilaku yang kompulsif, hiperaktif, susah beradaptasi dengan lingkungan baru, dan kecemasan. (Vonia Lucky/TW/Dok. Free Digital Photos)