BUMP TO BIRTH

Stres saat Hamil dapat Menurun Pada Anak


Follow Mother & Beyond untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow Instagram @motherandbeyond_id dan Youtube Mother & Beyond


Penelitian yang dilakukan Universitas California, San Fransisco, menemukan fakta bahwa ibu yang stres saat hamil, dapat melahirkan anak yang mudah stres juga. Hal ini terjadi ketika ibu mengalami tekanan pada trimester kedua masa kehamilan. Akibatnya, Si Kecil menjadi sering rewel dan sulit ditenangkan, Moms.

Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa ibu yang memiliki tingkat stres tinggi membuat bayinya lebih reaktif terhadap stres dan membutuhkan waktu lebih untuk menenangkannya. Rasa stres ini berpengaruh pada jantung mereka, risiko akan rasa depresi dan masalah perilaku akan lebih tinggi dibandingkan anak lainnya.

Pada penelitian berikutnya, menunjukkan bahwa stres pada pria dapat mempengaruhi anak-anak mereka. Dengan begitu, para ayah pun harus bisa menjaga emosi dan usahakan untuk tidak menunjukkan rasa tertekan di depan anak mereka.

Sebagai salah satu peneliti, Dr Nicole Bush dari departemen Psikiatri dan Pediatrik menjelaskan, ”Hal ini memang tidak secara langsung memberikan efek buruk, tetapi kami tahu bahwa reaksi stres atau tekanan membuat anak-anak berisiko terhadap berbagai masalah psikologis.” Secara khusus, anak-anak ini berisiko mengalami rasa cemas dan depresi serta masalah yang bisa menggangu orang lain, seperti mengamuk di depan sekolah atau di lokasi publik lainnya.

Responden untuk penelitian ini adalah 151 wanita bekerja dan menengan ke bawah yang usia kandungannya antara 12 dan 24 bulan. Setiap wanita ini dilihat selama usia kehamilan di trimester pertama, kedua, dan ketiga.

Dalam jangka waktu yang ditetapkan secara reguler, tingkat stres calon ibu ini dicek menggunakan kuesioner. Hal-hal yang dapat menimbulkan stres seperti penyakit, masalah perumahan, masalah hukum, masalah keluarga, dan masalah hubungan ditanyakan dalam survey tersebut. Pada usia kandungan 6 bulan, reaksi stres janin pun di lihat melalui detak jantung mereka.

Ternyata, sebanyak 22 wanita yang mengalami stres berat memiliki anak yang lebih reaktif terhadap stres. Hal yang bisa dilihat dari perubahan detak jantung ini dapat memengaruhi perilaku dan kesehatan anak seumur hidupnya nanti. Seharusnya, detak jantung tersebut bisa diperlambat atau menyesuaikan dengan kondisi tubuh melalui sistem saraf 'parasimpatis'. Jika sistem ini menjadi 'tumpul', maka anak akan lebih stres selama dalam lahir hingga ia lahir.

Menurut peneliti, terlepas dari efek turun-temurun, orangtua dapat meringankan rasa stres pada anak dengan membangun lingkungan yang baik dan sehat. Buat suasana yang menenangkan di bulan-bulan pertama bayi menjalani hidupnya. Hal ini akan membuat bayi tidak mudah stres atau bereaksi pada hal-hal yang menggangunya.

Meski begitu, sikap reaktif anak ternyata menunjukkan bahwa dirinya cukup peka terhadap lingkungan sekitar. Hal ini bahkan memberikan dampak positif dan bisa membuatnya memiliki hubungan dengan orang lain.

Seperti yang disampaikan Dr Nicole Bush pada Daily Mail, ”Pada titik ini, kita tidak tahu dampak seumur hidup dari reaktivitas yang tinggi atau rendah, serta kontrol diri pada bayi atau anak tersebut.” Semua tergantung pada lingkungan dan masyarakat sekitarnya.

Yang terpenting adalah membuat lingkungan yang baik dan menenangkan. Hal ini dapat mempengaruhi tingkat reativitas anak serta kontrol diri yang dimiliki si bayi terhadap lingkungan sekitar. (Vonia Lucky/TW/Dok. Freepik)