Follow Mother & Beyond untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow Instagram @motherandbeyond_id dan Youtube Mother & Beyond
Stunting (tubuh pendek) kini menjadi salah satu topik yang hangat dibicarakan oleh para pakar kesehatan di Indonesia. Pasalnya, menurut data Riskesdas (2010), sekitar 35,6 persen balita di Indonesia mengalami keterlambatan tumbuh-kembang di 1.000 hari awal kehidupan mereka. Sementara, standar internasional untuk kasus ini sebesar 27% untuk setiap negara. Ini berarti, Indonesia harus menyiapkan strategi untuk menekan angka stunting hingga ke batas standar. Di tingkat ASEAN, Indonesia berada di peringkat ke-5 dalam kasus anak yang mengalami kekurangan gizi, termasuk kasus ini.
Walaupun secara kasat mata, stunting bukanlah suatu kondisi kronis yang bisa menyebabkan tingginya angka kematian, namun dapat berdampak buruk terhadap prestasi dan kualitas kesehatan anak di masa depan. Oleh karenanya, isu kasus ini mendapat perhatian yang besar dari pemerintah, juga lembaga-lembaga internasional, seperti WHO, UNICEF, dan WFP.
Menurut Prof. Fasli Jalal, Ph.D, Sp.GK, Pakar Gizi dan Guru Besar Universitas Andalas, 1 dari 3 anak di Indonesia memiliki tubuh pendek yang kurang dari standar. Diungkapkan pula bahwa anak laki-laki berisiko lebih besar dibandingkan anak perempuan mengalami kasus ini bila di 12 bulan pertamanya tidak ternutrisi dengan baik. Dampaknya, banyak di antara mereka nanti memiliki tinggi badan kurang dari 14 cm.
Prof. Fasli menambahkan, kekurangan gizi dan stunting menyebabkan banyak masalah pada sel saraf otak yang tidak ternutrisi dengan baik di awal kehidupannya. Gangguan gizi di awal kehamilan dan kekurangan nutrisi di awal pertumbuhan bayi bisa menyebabkan sel dendrit pada otak tidak berkembang karena tipisnya selubung mielin yang merupakan bekal kecerdasan anak di masa depan. (Anggita/doc.M&B)