FAMILY & LIFESTYLE

Balada Emak-Emak Rempong: Memilih Pre-School


Follow Mother & Beyond untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow Instagram @motherandbeyond_id dan Youtube Mother & Beyond


Salah satu hal tersulit dan terseram menjadi orangtua, adalah menyadari bahwa tiap pilihan yang kita buat untuk anak, akan berdampak padanya. Setiap keputusan yang kita ambil menyangkut kehidupannya, akan membentuk jalan hidupnya kelak. Terkadang pemikiran ini terlalu menguasai saya, sehingga proses pengambilan keputusan sekecil apapun menjadi sebuah saga tersendiri. Sekedar memilih sikat gigi anak di aisle baby care di supermarket saja bisa membuat saya termangu memandangi deretan sikat gigi berbagai karakter selama 20 menit lebih. Karakter kesukaan saya, sih, Winnie The Pooh, tapi dia lagi suka sekali sama Mickey Mouse…. Eh atau yang Princess ya? Atau mau mencoba mendewasakannya dengan memilih yang polos? Mengapa begitu banyak pilihan sikat gigi sihhh??

Bayangkan betapa resahnya saya saat menyadari, bahwa sudah tiba saatnya untuk memilih pre-school untuk Lilou, anak saya yang tahun depan sudah bisa masuk level Pre-Kindergarten. Rasa ekstra panik didorong oleh kenyataan bahwa ternyata kebanyakan sekolah sudah membuka pendaftaran untuk level Pre-Kindie dari sekarang (walaupun tahun ajaran barunya di pertengahan tahun depan). Dan kita hanya diberikan jendela waktu yang sangat sempit untuk memutuskan dan mendaftarkan anak serta membayar uang pangkal, kalau tidak mau kehilangan slot yang katanya “sangat diperebutkan” itu. Tambah lagi gelisah mendengar bisik-bisik sesama Moms, kalau tidak ikut dari level Pre-Kindie, akan sulit untuk masuk ke TK nya. Pressure!

Karena terdorong insting orangtua yang selalu ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya, jadilah saya dan suami mulai bergerilya berkeliling kota mengikuti berbagai open house di Pre-kindie/Kindergarten. Dari yang namanya sudah dikenal dari zaman saya kecil, sampai nama-nama yang sedang menjadi “hits” terbaru di kalangan pre-school, karena metode pembelajarannya yang modern dan global-oriented. Lagi-lagi saya dihadapkan dengan berbagai pilihan. Apakah saya mau anak saya mengenyam pendidikan yang mengutamakan disiplin tinggi, atau prioritas berbasis ajaran agama? Atau saya ingin anak saya siap berkompetisi secara global dengan memasukkan ke dalam sekolah dengan bahasa pengantar full Inggris, dan metode belajar internasional? Belum lagi soal fasilitas sekolah (kolam renang, perlu enggak, sih? AC atau tidak? Computer Lab?) dan kualitas guru (streng dan disiplin, atau liberal, atau yang mengayomi?).

Di saat-saat labil nan bimbang ini, di mana pikiran serta hati berubah lebih sering daripada pergantian status alay galau di Facebook, banyak pula keluarga dan kenalan yang menyumbangkan opini mereka, yang lebih sering bikin tambah bingung daripada membantu. Dari komen-komen mencibir “Ngapain sih, pusing mikirin pre-kindie. Nanti sajalah mulai TK, dan pilih aja yang biasa-biasa dekat rumah, repot-repot amat!”, atau “ Yah harus yang agamanya kuat lah, cuma itu yang penting!”, sampai “Sebaiknya pilih yang ada pelajaran bahasa Mandarinnya deh, Tiongkok itu akan jadi negeri adidaya masa depan loh, kasihan anakmu kalau enggak bisa bersaing nanti”. Walah, zaman saya TK dulu bisa baca-tulis alfabet pakai bahasa Indonesia aja sudah hebat, masa sekarang harus bisa multi-lingual bak pegawai PBB ya. Luar biasa.

Dan perjuangan belum berhenti di situ. Misalnya pun kita bisa memantapkan hati dan memilih salah satu, kita diberitahu bahwa masih akan ada proses seleksi dan interview yang harus dijalani orangtua, karena pihak sekolah harus memastikan bahwa orangtua memiliki “profil yang selaras dengan filosofi dan spirit dari institusi pendidikan ini”. Buset, deg-degannya kayak mau job interview, bahkan lebih, karena kalau saya dan suami menggagalkan karena tidak cukup bisa menarik hati yang mewawancarai kami, anak kami lah yang terdepak tidak lolos seleksi. Kami membayangkan di masa depan, saat dia menjalani pekerjaan mid-level gaji rendah karena tidak memiliki sokongan pendidikan berkualitas di awal hidupnya, lalu mengetahui bahwa dia punya kesempatan memiliki pendidikan dasar berkualitas, namun karena bapak-ibunya yang panikan dan glagapan saat wawancara, dia kehilangan kesempatan itu. Apakah dia akan bisa memaafkan kami?

Masya ampun. Memilih Pre-School saja repotnya mengalahkan pilih kuliah zaman saya dulu, ya. Dan betapa kagetnya saat menyadari, bahkan uang pangkalnya pun menyaingi (bahkan beberapa mengalahkan!) biaya masuk universitas saya dulu! Yang bener nih, uang pangkal untuk 3 tahun ( Pre-Kindie-TK A-TK B) saja segini? “Waduh kalau begini ceritanya, nanti anak kedua kita tidak usah disekolahkan deh, di rumah saja bantu-bantu ibunya”, ujar saya pada suami, setengah bercanda dan sepenuhnya getir. Belum lagi termasuk uang bulanan sekolah yang langsung membuat saya menyusun daftar hal-hal yang harus dihilangkan dari pengeluaran. Ok, no more meni pedi langganan. Biarlah kutikel kuku berantakan, yang penting masa depan anak terjamin. Ngopi-ngopi kafe terkenal, dicoret dulu. Minum saja kopi sachet, nanti saja ngafe lagi kalau anak lulus kuliah. Panik mode on judulnya.

Namun setelah banyak berdiskusi dan menenangkan pikiran, saya dan suami berpendirian, bahwa untuk hal ini, kami harus mengikuti naluri dan hati kami sebagai orangtua, dan menyesuaikan kemauan dengan kemampuan. Jenis sekolah dan metode pendidikan kami pastikan yang memang benar-benar sesuai dengan nilai-nilai yang ingin kami berikan pada anak kami, dan nilai-nilai itu kami yakini bisa secara konsisten kita berikan juga di lingkungan rumah dan keluarga. Setelah itu mau tidak mau kita harus berkomitmen, bukan hanya soal biaya (coret dulu liburan dan tas baru, follow up dulu tabungan pendidikan), namun juga soal waktu dan atensi yang akan kita berikan untuk mendampingi dan memastikan bahwa si anak mendapatkan pengalaman belajar yang terbaik. Level baru parenting dimulai nih!
Pada akhirnya, seperti segala keputusan yang pernah kami ambil menyangkut anak kami, kami memang tidak pernah bisa benar-benar tahu apakah kita sudah melakukan yang paling tepat, tapi kita bisa menenangkan hati dengan meyakini bahwa kita mengawali dengan niat terbaik.

Selanjutnya, seperti yang sudah-sudah, saya lakukan langkah demi langkah. Take it step by step, day by day. Mulai menyiapkan dirinya untuk masa-masa sekolah mendatang, setiap harinya. Diawali dengan belajar bangun pagi dan ajak gosok gigi sambil berharap dia menyukai sikat gigi Mickey Mouse yang saya baru belikan untuknya.

(CiscaBecker/DT)