Follow Mother & Beyond untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow Instagram @motherandbeyond_id dan Youtube Mother & Beyond
Saat anak pertama saya menginjak usia 2 tahun, banyak teman-teman yang sudah lebih dahulu punya anak mengucapkan, “Wah, Lilou 2 tahun ya? Welcome to Terrible Twos, ya. Haha,” dengan nada puas selayaknya orang yang sudah menderita akan sangat puas kalau orang lain bisa merasakan penderitaannya.
Saya waktu itu tidak terlalu mengerti apa maksud tawa histeris dan tatapan nanar mereka, dan selayaknya new parents, kami pun memasang aksi congkak dan sombong. “Haha, itu tidak akan terjadi pada kami. Kami berbeda, toddler kami berbeda, kami akan tunjukkan lewat parenting skills andal yang kami peroleh dari internet, bahwa keluarga kami akan bebas dari drama tantrum!”
We have never been so wrong.
Seiring dengan berkembangnya kemampuan verbal serta kemampuan motorik kasar dan halusnya, bertambah juga keinginan Lilou untuk menyatakan kemauan dan kemandiriannya. Namun mungkin karena kemauan lebih besar dari kemampuannya (yang statusnya masih berkembang, ibarat negara kita) dia sering KZL sendiri saat apa yang diinginkan tidak bisa terwujud. Ini adalah setidaknya teori saya sendiri, yang tetap mencoba melogikakan aksi-aksi ngambeknya yang seringkali tidak logis.
Ini adalah beberapa contoh pemicu tantrumnya:
* Ngamuk saat diberi roti, padahal sebelumnya baru saja minta makan roti.
* Menangis guling-guling karena tidak diizinkan memegang paku berkarat yang ia temukan di teras rumah.
* Meraung-raung karena saya larang menjilat sembarang anak di playland sebuah mall.
* Menangis karena tangannya basah. Saat diselidiki kenapa bisa basah, ternyata ia habis menjilati tangannya sendiri.
* Berteriak kencang dengan nada tinggi saat saya melarangnya menggunakan sikat giginya yang sebelumnya ia pakai untuk membersihkan lantai kamar mandi.
* Mengamuk karena tidak bisa melihat bulan. Di siang hari.
* Menjerit-jerit saat tidak diizinkan memakai rok tutu baletnya untuk berenang.
* Berteriak sambil melempar semua mainannya saat saya tidak mau memutarkan video klip “Let It Go”. Untuk ke 32 kalinya.
* Menangis sesegukan di kamarnya saat dilarang makan lem.
Kalau ada yang lebih membingungkan dari hidup sebagai toddler, itu adalah hidup sebagai orangtua dari seorang toddler. Rasanya kadang-kadang seperti hidup bersama ranjau paling lucu dan menggemaskan, makhluk tidak stabil yang bisa berubah dari riang gembira menjadi marah histerikal dalam bilangan detik. Kalah, deh, diva Hollywood manapun.
Yang kami pelajari lewat pengamatan dan akhirnya simpulkan, ternyata tidak ada manual pakem yang bisa digunakan sebagai referensi universal untuk menghadapi tantrum anak. Masa-masa seru ini memang merupakan periode yang harus kami lewati dan jalani dalam proses evolusi hidup sebagai orangtua. Kami tak perlu menjadi pawang toddler andal di muka umum untuk membuktikan kemampuan kami, ataupun berusaha menjadi toddler whisperer yang bisa menyediakan solusi untuk semua masalah Si Kecil. Dalam perjalanan melalui era bergejolak ini, yang kami pelajari dan akhirnya memberikan pencerahan serta ketenangan batin adalah, bahwa semua orangtua akan kurang lebih mengalami fase-fase ini dalam menghadapi era tantrum batita:
I. Bingung
II. Khawatir
III. Kesal
IV. Mati Rasa
V. Terhibur
Bagi Anda yang bersiap-siap menyambut ulang tahun anak ke-2, saya ucapkan (sambil tertawa histeris dan menatap nanar), “Welcome to Tantrum Land! Semoga bisa cepat sampai ke fase 5!”
(Cisca Becker/DT/foto:MBUK)