Follow Mother & Beyond untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow Instagram @motherandbeyond_id dan Youtube Mother & Beyond
Menjalani sustainable lifestyle menjadi pilihan Dwi Sasetyaningtyas (30) yang awalnya karena ingin mengirit saat kuliah di luar negeri. Namun nyatanya, wanita yang akrab disapa Tyas ini pun masih melakukan gaya hidup yang bersifat ramah lingkungan. Dan baginya, setiap usaha kecil yang dilakukan tentu dapat membuat setiap orang memiliki hidup yang berkelanjutan dan selaras dengan alam.
Sebagai bentuk perubahan perilaku untuk menjaga bumi, Tyas pun membuat Sustaination pada 2017. Diawali dengan sharing pengalamannya menjalani sustainable lifestyle, ibu dari Mala (4) ini juga membagikan review mengenai produk yang ramah lingkungan. Seiring berjalannya waktu, semakin banyak orang yang mengenal dan tertarik menjalani sustainable lifestyle. Hal ini yang mendasari Tyas untuk mengembangkan Sustaination menjadi one-stop-solution, yaitu wadah untuk berbagi ilmu dan pengalaman sekaligus bisa membeli produk ramah lingkungan, mulai dari kecantikan, baby care, perlengkapan dapur, hingga alat-alat untuk membuat kompos sendiri.
Meski masih banyak tantangan yang harus dihadapi, Tyas percaya bahwa Indonesia bisa menjadi bangsa yang ramah lingkungan dan memiliki kehidupan yang berkelanjutan serta selaras dengan alam. Dengan semangatnya yang seperti Kartini ini dan bertepatan dengan Hari Bumi pada 22 April, M&B mengajak Dwi Sasetyaningtyas yang menjadi Mom of the Month April Spesial Hari Kartini untuk berbagi pengalaman menjalani sustainable lifestyle bagi dirinya sendiri melalui Sustaination beserta caranya mengajarkan cinta lingkungan kepada sang buah hati.
Sejak kapan Anda mulai melakukan sustainable lifestyle?
Saat berkuliah di Belanda pada 2015, saya sudah mulai melakukan gaya hidup ini dengan cara sederhana. Ketika itu, untuk mengatur biaya hidup, saya membawa tas belanja sendiri. Karena jika membeli plastik harganya sekitar 30 cent Euro (sekitar Rp4.600). Ini tentu harga yang lumayan, apalagi jika berbelanja dalam jumlah banyak. Tiga tas plastik saja sudah bisa dikatakan setara dengan 1 kg beras saat itu. Saya juga membawa botol minum sendiri untuk diisi dengan tap water. Tentu saja ini dapat memangkas biaya hidup menjadi lebih irit. Jadi, awal saya menjalani sustainable lifestyle bukan karena ingin membantu mengatasi masalah lingkungan, tetapi untuk keberlangsungan hidup saat masih kuliah saja.
Selain itu, saya juga berkuliah di jurusan Sustainable Energy Technology dan sedang membuat tesis dengan judul “Adaptasi Energi Surya di Desa Terpencil di Indonesia” dengan studi kasus di Pulau Sumba. Alasannya, karena di 2025, pemerintah ingin menjadikan Pulau Sumba sebagai salah satu pulau yang menggunakan 100 persen energi terbarukan (renewable energy). Namun, dengan pendekatan bisnis modal ‘bagaimana memulai bisnis atau start up untuk adaptasi energi surya di desa terpencil’ ternyata bergantung pada kebijakan publik. Hal ini cukup menyulitkan. Saya pun kembali ke Belanda dan kemudian mengubah topik tesis saya.
Anda memilih menjalani gaya hidup ini karena...
Di Belanda, sampah akan disortir menjadi 7 kategori, yang salah satunya disebut sampah residual atau tidak bisa didaur ulang. Awalnya, saya dan suami tidak memedulikan hal ini dan menggabungkan semua sampah dalam satu trash bag besar. Ketika ingin membuangnya, kami cukup kerepotan hingga saya berpikir cara mengatasinya.
Saya pun sebagai ibu membuat kebijakan di rumah saya sendiri untuk urusan sampah dengan mulai memisahkan jenis-jenis sampah yang ada, mulai dari sisa bahan makanan, sampah plastik bekas, hingga popok yang cukup banyak karena waktu itu saya baru melahirkan Mala. Dan setelah proses ini, saya dan suami menyadari bahwa penggunaan plastik di rumah kami cukup banyak. Kami pun mulai mengubah cara berbelanja dengan membawa kotak makan untuk menyimpan buah, sayur, ayam, dan bahan lainnya. Belanjanya pun bukan di supermarket, melainkan di farmers market atau pasar kaget yang buka seminggu sekali.
“Saya pun sebagai ibu membuat kebijakan di rumah saya sendiri untuk urusan sampah dengan mulai memisahkan jenis-jenis sampah yang ada.”
Apa saja penyesuaian dari gaya hidup yang Anda lakukan hingga saat ini?
Selama beberapa waktu di Belanda hingga pulang ke Indonesia, saya tentu masih melakukan sustainable lifestyle yang awalnya memang tidak disengaja. Dan kebiasaan ini masih berlanjut dengan mengurangi konsumsi daging (sapi dan ayam) dan mengganti dengan bahan nabati atau plant based, menghindari konsumsi makanan kemasan, meminimalisir penggunaan plastik, hingga belajar untuk mengompos sampah.
Jadi, bisa saya simpulkan bahwa sustainability tidak hanya mengurangi atau mengganti penggunaan benda tetapi juga mengganti pola pikir dan gaya hidup. Artinya, kita bisa memanfaatkan kotak plastik makanan yang sudah dimiliki untuk dipakai berulang kali tanpa perlu membuang dan menggantinya dengan kotak kaca. Untuk sampahnya pun bisa dipisahkan, seperti bahan plastik/kaca yang dapat diberikan pada instansi tertentu agar diolah kembali menjadi suatu produk dan memang sudah banyak bermunculan saat ini. Sedangkan sampah bekas makanan dapat diolah sendiri menjadi kompos.
Bagaimana sikap keluarga pada sustainable lifestyle yang Anda pilih?
Saya menjalani sustainable lifestyle sebenarnya memang untuk diri sendiri dan keluarga kecil saja. Keluarga tentu mendukung dan pada akhirnya mereka pun ingin mencoba melakukan hal yang sama. Mertua saya yang suka berkebun pun belajar membuat kompos beberapa waktu lalu. Tapi, saya tidak pernah memaksakan anggota keluarga lain untuk ikut menjalani gaya hidup ini. Jika mereka bertanya dan ingin belajar, saya akan siap untuk membantu.
“Sustainability tidak hanya mengurangi atau mengganti penggunaan benda tetapi juga mengganti pola pikir dan gaya hidup.”
Apa dasar dari ide Anda membentuk Sustaination?
Pada 2017, saya merasa mempelajari sustainable lifestyle di Indonesia cukup sulit. Selain pilihan produk ramah lingkungan yang sedikit, informasinya pun dihadirkan dalam bahasa Inggris. Budaya yang dibawa pun identik dengan nuansa kebarat-baratan, seperti mengonsumsi roti, yang berbeda dengan budaya Indonesia. Padahal isu lingkungan sendiri cukup penting, namun pelakunya mengalami kesulitan karena hal-hal tersebut pada saat itu.
Saya pun mencari tahu bahwa sebenarnya nenek moyang kita menerapkan gaya hidup yang sustainable. Seperti saat berbelanja, yang digunakan adalah tas purun, besek, bahkan daun pisang atau daun jati. Hal ini yang membuat saya ingin berbagi pengalaman menjalani sustainable lifestyle dengan kearifan lokal Indonesia. Saya mulai dengan sharing di blog, lalu dilanjutkan dengan menjual produk-produk ramah lingkungan, seperti menstrual cup, dan ternyata disambut baik oleh pembaca yang sudah atau baru tertarik menjalani sustainable lifestyle.
Apa misi Sustaination?
Sustaination atau merupakan singkatan dari sustainable nation ini diharapkan bisa menjadi one-stop-solution, tempat untuk membantu teman-teman yang sedang menjalani sustainable lifestyle. Kita bisa mencari tahu alasan hingga cara untuk melakukan gaya hidup yang lebih ramah lingkungan ini. Informasinya pun bisa ditonton dari video di channel YouTube Sustaination atau membeli produk ramah lingkungan yang sudah dikurasi sebelumnya.
Apa saja tantangan terbesar yang Sustaination hadapi?
Pada awalnya, saya tentu merasa kesulitan saat mulai menjalani sustainable lifestyle. Rasanya seperti sedang berjalan sendiri, tanpa dukungan teman maupun edukasi yang mencukupi. Keberadaan Sustaination mampu menjadi support system saya sejak awal dan diharapkan bisa juga membantu teman-teman lainnya untuk memulai gaya hidup yang lebih ramah lingkungan mulai dari sekarang.
Tantangannya tentu masih banyak dan masih menjadi tugas rumah untuk Sustaination mengedukasi masyarakat mengenai sustainable lifestyle secara luas. Apalagi, isu tentang lingkungan ini dianggap kalah penting dari isu yang nyata di keseharian kita, seperti bagaimana mencari penghasilan untuk makan. Tapi, berbagai bencana akibat perubahan cuaca yang ekstrem karena krisis iklim juga semakin banyak bermunculan. Karenanya, saya dan tim Sustaination berharap dapat membuat Indonesia menjadi negara yang memahami pentingnya menjaga dan menggunakan produk ramah lingkungan, berkelanjutan, dan selaras dengan alam di masa depan.
“Keberadaan Sustaination mampu menjadi support system saya sejak awal dan diharapkan bisa juga membantu teman-teman lainnya untuk memulai gaya hidup yang lebih ramah lingkungan mulai dari sekarang.”
Langkah awal yang bisa dilakukan Moms lain untuk menjalani sustainable lifestyle...
Saya punya prinsip namanya 6R. Pertama, Rethink, yaitu berpikir ulang sebelum kita melakukan sesuatu dan sadar dengan dampak yang akan terjadi setelahnya. Karena, 60-80 persen pencemaran atau emisi karbon sudah terbentuk sebelum hal yang kita beli sampai, akibat dari proses produksi, distribusi, dan ekstrasi bahan material. Jadi, sebisa mungkin belilah barang ataupun makanan sesuai kebutuhan saja dan tentu bisa jadi lebih irit pengeluaran.
Kedua, Refuse atau menolak untuk memiliki sesuatu yang bisa menghasilkan sampah, seperti plastik sekali pakai. Kemudian Reduce, yaitu mengurangi hal-hal yang berlebihan, seperti penggunaan listrik (lampu dan AC) di rumah atau memilih berjalan kaki dibandingkan motor jika jarak tujuan dekat. Keempat, Reuse atau dengan menggunakan kembali benda-benda yang masih bisa dipakai berulang kali, seperti kotak makan atau pakaian lama yang dirombak kembali. Kelima Recycle, mendaur ulang sampah yang masih bisa dipakai. Jika kelima langkah di atas sudah dilakukan, kemungkinan hal yang perlu di daur ulang akan lebih sedikit atau bahkan tidak perlu melakukan recycle sama sekali.
Dan yang keenam adalah Rot atau mengompos melalui cara pembusukan. Hal ini cukup penting karena sampah organik nyatanya tidak bisa terurai dengan baik jika dibiarkan begitu saja. Sebanyak 50 persen sampah organik di TPA justru bisa menyebabkan longsor serta mengeluarkan gas metana hingga meledak dan menyebabkan krisis iklim 20 kali lipat lebih berbahaya daripada karbondioksida. Jadi, akan lebih baik jika kita mulai memisahkan sampah organik dari sisa bahan makanan dan diolah sendiri menjadi kompos.
Selain itu, akan lebih menguntungkan dengan memisahkan sampah organik dan non-organik. Salah satunya adalah mengurangi bau tidak sedap, karena sampah non-organik bisa dicuci dulu dan dimasukkan ke wadah khusus, sedangkan sampah organik bisa langsung dimasukkan ke wadah kompos.
Bagaimana Anda mengenalkan sustainable lifestyle pada anak?
Saya memahami prinsip “children see, children do”. Anak akan mencontoh banyak hal atau sebagai cerminan dari apa yang dilakukan oleh orang tuanya. Jadi, ketika saya mengompos dan Mala lihat, maka ia juga sekaligus belajar cara melakukannya dan mengenal manfaatnya. Begitu juga dengan memisahkan sampah non-organik, Mala sudah tahu untuk mencucinya dahulu sebelum dibuang ke wadahnya, dan memasukkan sampah organik ke wadah kompos.
Saya pun memanfaatkan buku bacaan untuk mengedukasi Mala tentang pentingnya menjaga lingkungan. Salah satu buku yang juga saya tulis sendiri adalah “Petualangan Rima dan Rimba”, menceritakan dua anak yang bertualang untuk menyelamatkan negerinya, Loh Jinawi, dengan salah satu cara yaitu membuat pupuk kompos. Sering juga saya ajak dia untuk membuat es krim buah sendiri yang tentunya lebih aman dan sehat untuk dikonsumsi setiap hari. Selain itu, ada juga beberapa video yang Mala tonton tentang mendaur ulang atau mengompos. Tapi buat saya, cara yang cukup efektif dengan saya mencontohkan secara langsung serta memberikan anak buku, sehingga ia bisa langsung mempraktikkannya.
“Saya memahami prinsip ‘children see, children do’. Anak akan mencontoh banyak hal atau sebagai cerminan dari apa yang dilakukan oleh orang tuanya.”
Apakah menurut Anda, menjalani dan mengajak Moms lain untuk memiliki sustainable lifestyle serupa dengan usaha Kartini untuk menyetarakan woman power?
Menurut saya, setiap wanita memiliki semangat untuk berjuang dalam setiap hal dalam hidupnya. Termasuk para ibu yang ingin anaknya memiliki pendidikan yang baik atau kehidupan dalam keluarga yang bahagia. Dan melalui Sustaination ini, saya rasa semangatnya pun sama seperti Kartini untuk melakukan perubahan. Apalagi sebagai ibu, kita memiliki peran penting sebagai pembuat kebijakan di rumah, termasuk memisahkan sampah.
Sustaination tentu ingin mengajak para Moms dan wanita lainnya untuk lebih sadar dan feeling empowered dalam melakukan perubahan yang kesannya kecil tapi sebenarnya besar, melalui sustainable lifestyle. Diawali dari diri sendiri, kita akan bisa memengaruhi anggota keluarga lainnya. Perubahan ini diharapkan bisa mengatasi kerusakan lingkungan yang terjadi saat ini dan anak-anak kita nanti tidak merasakan dampak dari hal tersebut. Jadi, lingkungan pun akan lebih baik, kehidupan anak-anak juga lebih baik, dan untuk Indonesia yang lebih sustainable dengan perjuangan kita layaknya Kartini yang ada pada diri setiap wanita.
(M&B/Vonia Lucky/SW/Foto & Digital Imaging: Saeffie Adjie Badas)