BABY

Belajar tentang Moebius Syndrome pada Bayi dari Kisah Hiro


Follow Mother & Beyond untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow Instagram @motherandbeyond_id dan Youtube Mother & Beyond


Dalam beberapa hari terakhir, jagat maya dibuat terenyuh oleh kisah Hiro. Bayi yang lahir pada 27 Juni 2020 tersebut harus berjuang untuk hidup karena penyakit Moebius Syndrome yang dideritanya.

Adalah sang ayah, Andreas Kurniawan yang notabene seorang psikiater, yang membagikan kisah Hiro melalui utas cuitan di akun Twitter miliknya. "Halo. Anak saya lahir kurang dari satu bulan lalu, dengan kondisi super langka yaitu Moebius syndrome. Hari ini, saya memutuskan untuk terbuka tentang kondisi Hiro. Moebius syndrome, kondisi tanpa ekspresi – sebuah utas," demikian Andreas mengawali cerita tentang Hiro.

Perlu diketahui Moebius syndrome adalah penyakit bawaan lahir atau kongenital yang sangat jarang terjadi. Kelainan saraf ini menyebabkan kondisi yang lemah atau paralisis atau ketidakmampuan merespons yang terjadi pada beberapa saraf wajah.

Kelainan biasanya terjadi pada saraf ke VII dan VI. Akibat dari kondisi yang lemah ini, penderita tidak dapat mengungkapkan ekspresi wajah seperti tersenyum, cemberut, mengerutkan bibir, menaikkan alis, atau menutup kelopak mata. Pada umumnya, penderita juga tidak dapat menggerakkan mata ke arah lateral atau ke arah luar. Oleh sebab itu, penderita sering dikatakan memiliki wajah seperti patung.

Penyakit ini pertama kali dideskripsikan oleh Von Graefe pada 1880, lalu Paul Julius Moebius pada 1888. Moebius yang namanya digunakan untuk mengidentifikasi penyakit ini adalah seorang neurologi asal Jerman.

Dalam kisah Hiro, sang ayah mengetahui buah hatinya menderita Moebius syndrome saat Hiro lahir dalam keadaan tidak menangis, tidak bernapas, dan tidak ada ekspresi. "Seorang bayi ketika lahir akan dinilai kemampuannya menangis. Hiro tidak bisa menangis. Lebih tepatnya, Hiro tidak bisa membuka mulut. Bahkan, mungkin hanya bisa membuka mulut sebesar sedotan air mineral. Selang makan perlu dipasang. Selang oksigen berada di hidungnya," tutur Andreas.

Ironisnya, masalah yang dialami Hiro bukan sebatas Moebius syndrome yang membuatnya tak bisa berekspresi. Ia mengalami masalah saraf kranial X yang memiliki fungsi untuk menelan.

"Ketidakmampuan menelan ini mebuat Hiro mengalami banyak kesulitan. Pertama, jelas tidak bisa makan. Tapi yang lebih gawat adalah air liur tidak bisa tertelan dan jadi jatuh bebas ke saluran napas. Seperti tersedak saat kita makan sambil bicara. Hiro mudah tersedak," kata Andreas.

"Karena Hiro spesial, masalahnya belum selesai sampai situ. Hiro juga tidak memiliki refleks batuk yang baik. Jadi ketika air liur masuk saluran napas, dia tidak batuk. Padahal, batuk itu perlindungan dasar manusia terhadap benda asing di saluran napas. Bahkan ketika susu atau makanan masuk paru, dia pun tidak batuk. Tiba-tiba sesak dan napasnya bunyi. Bagi Hiro, setiap makan adalah aktivitas yang bisa menyebabkan kematian. Saat ini dia makan 8x sehari, jadi sesering itu risiko untuk tersedak, sesak, bahkan meninggal," lanjutnya.

Hiro sempat dirawat di NICU selama 21 hari sebelum dibawa pulang ke rumah oleh orang tuanya. Untuk membantu proses pernapasan agar bisa berjalan dengan baik, bayi mungil ini dipasangi trakeostomi di lehernya. 

Penyebab Moebius Syndrome

Hingga kini belum diketahui secara pasti apa penyebab Moebius syndrome. Penyakit ini terkesan terjadi secara acak atau random pada siapa saja. Pada beberapa kasus, tampaknya terdapat hubungan antara riwayat keluarga dan terjadinya sindrom ini. Jadi ada kemungkinan Moebius syndrome disebabkan oleh faktor kelainan genetik.

Hipotesis lain menyatakan bahwa penyebab Moebius syndrome adalah iskemia (kurang atau terganggunya aliran darah) ke fetus atau janin saat berada dalam kandungan. Iskemia dapat disebabkan oleh faktor lingkungan. Namun tentu saja hipotesis ini juga masih memerlukan penelitian lebih lanjut.

Moebius syndrome termasuk golongan penyakit yang sangat langka. Kemungkinan kejadian penyakit ini adalah dua hingga 20 per 1 juta orang. Jumlah kasus antara laki-laki dan perempuan pun sama kemungkinannya. (Wieta Rachmatia/SW/Dok. Freepik)