Follow Mother & Beyond untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow Instagram @motherandbeyond_id dan Youtube Mother & Beyond
Tentu bahagia saat melihat Si Kecil dapat tumbuh sebagai anak yang berenergi dan periang. Lagipula, anak yang aktif dan ceria seringkali berkaitan dengan kondisi kesehatan yang bagus, baik dari sisi kesehatan fisik maupun mental. Tapi biasanya balita tetap dapat 'mengerem' energi di momen-momen tertentu. Setelah berlari-lari mengejar bola, Si Kecil bisa saja langsung duduk diam mengamati gambar di buku cerita.
Walau begitu, beberapa anak memang tidak bisa diam. Mondar-mandir memainkan mobil-mobilan, berlari-lari, mengobrol, bahkan tetap meloncat-loncat setelah Anda peringatkan dan larang. Lebih dari aktif, para ahli menyebut perilaku ini sebagai hiperaktif. Lalu bagaimana mengenali anak dengan hiperaktif?
Ciri-Ciri Anak Hiperaktif
Hiperaktif tak hanya soal Si Kecil yang tidak bisa diam. Melansir Medlineplus, perilaku hiperaktif biasanya merujuk pada aktif secara konstan, perhatian yang mudah terganggu, impulsif, ketidakmampuan untuk berkonsentrasi, agresif, dan perilaku lain yang serupa. Kata 'konstan' membedakan mana perilaku hiperaktif dan mana yang aktif.
Ada beberapa hal yang biasa dilakukan oleh anak hiperaktif. Beberapa ciri tersebut antara lain:
⢠Berlari-lari sambil berteriak saat bermain, bahkan saat bermain di dalam ruangan.
⢠Gemar berdiri saat kelas sedang berlangsung dan berjalan-jalan saat guru sedang mengajar.
⢠Bermain dengan kasar sehingga seringkali mencelakakan anak-anak lain dan dirinya sendiri.
⢠Bergerak dengan sangat cepat, sehingga membuatnya sering menabrak benda maupun orang lain.
⢠Sangat suka berbicara, atau berbicara dengan konstan.
⢠Seringkali menyela atau mengganggu orang lain.
⢠Berpindah dari satu tempat ke tempat lain dan seringkali bergerak dengan ceroboh.
⢠Terus bergerak bahkan saat sedang duduk.
⢠Gelisah atau bergerak ceroboh dan selalu ingin mengambil barang-barang lalu memainkannya.
⢠Memiliki masalah atau kendala untuk duduk diam, baik saat makan maupun kegiatan tenang lainnya seperti membaca.
Ada banyak sebab mengapa Si Kecil menjadi hiperaktif. Beberapa sebab yang utama antara lain stres, gangguan emosional, gangguan sistem saraf atau otak, hyperthyroid, attention deficit hyperactivity disorder (ADHD), dan kurangnya berolahraga.
Faktor usia juga dapat memengaruhi perilaku hiperaktif. Seiring dengan perkembangan waktu, perilaku hiperaktif anak akan hilang dengan sendirinya. Anak-anak biasanya mulai dapat mengontrol diri dengan baik ketika sudah memasuki usia empat hingga enam tahun. Bila Si Kecil terlihat tak mampu menguasai dirinya, sehingga hiperaktif terus terjadi hingga ia di tahun kedua sekolahnya, maka Moms bisa konsultasikan pada dokter maupun psikolog tentang hal ini.
Selain itu, segera konsultasikan dengan dokter atau psikolog bila Si Kecil tampak hiperaktif sepanjang waktu, sangat agresif, sangat impulsif, dan kesulitan berkonsentrasi. Penting bagi anak hiperaktif untuk mendapatkan perawatan maupun bantuan, karena hampir seluruh anak hiperaktif akan mengalami kesulitan di sekolah dan pergaulan dengan teman sebaya.
Cara Membantu Si Kecil yang Hiperaktif
Konsultasi dengan tenaga ahli adalah cara utama untuk mengidentifikasi dan mengatasi anak yang hiperaktif. Walau begitu, ada beberapa tp yang dapat Anda lakukan untuk membantu Si Kecil di rumah, yakni:
⢠Memfasilitasi Si Kecil dengan berbagai aktivitas fisik yang bisa membantunya melepaskan energi.
⢠Buat batasan jelas tentang kondisinya dalam perintah Anda. Anda bisa katakan "Ayo gunakan kaki-kakimu untuk berjalan ke toko", atau "Kamu harus menenangkan tubuhnya sebelum kita naik mobil", dan yang lainnya.
⢠Buat suasana di rumah menjadi tenang dan pastikan Si Kecil tetap bisa mendapatkan momen tenang bersama Anda maupun suami.
⢠Hindari makanan maupun minuman dengan zat tambahan seperti permen, minuman bersoda, minuman rasa buah, dan makanan siap saji.
⢠Bila Si Kecil sudah bersekolah, berikan informasi tentang kondisi Si Kecil kepada gurunya. Hal ini diharapkan dapat membantu pengawasan pada Si Kecil di sekolah dan proses belajarnya. (Gabriela Agmassini/SW/Dok. Freepik)