TOODLER

Moms, Yuk Ketahui Jenis-jenis Tipe Terapi Autisme


Follow Mother & Beyond untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow Instagram @motherandbeyond_id dan Youtube Mother & Beyond


Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), autisme atau yang sekarang disebut sebagai gangguan spektrum autisme (GSA) adalah kumpulan gangguan perkembangan dengan karakteristik lemahnya pada bidang interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku berulang atau minat terbatas. IDAI juga menyebutkan kalau angka kejadian autisme terus meningkat dari tahun ke tahun.

Autisme sendiri memiliki gejala-gejala yang belum dapat dihilangkan 100 persen dari diri penyandangnya, sehingga butuh dilakukan terapi sejak dini agar mereka bisa memiliki kualitas hidup yang baik. Namun untuk menentukan terapi yang paling cocok bagi anak penyandang autis, perlu dilakukan pemeriksaan menyeluruh terlebih dahulu.

Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui gangguan yang dialami, tingkat kemampuan yang dimilikinya dan hambatan-hambatan lain. Terapi-terapi untuk anak penyandang autis harus dilakukan secara terpadu karena antara terapi yang satu dengan yang lain saling melengkapi. Berikut beberapa jenis terapi untuk anak penyandang autis, Moms.


1. Fisioterapi

Penyandang autisme biasanya mengalami gangguan pada motorik kasar. Ada anak yang sangat hiperaktif, namun ada yang sangat pasif. Masalah motorik yang kerap timbul adalah anak berjalan jinjit, kesulitan untuk melakukan gerak sederhana, seperti memainkan tangan, kaki, atau kepala. Untuk mengatasinya, bisa diterapkan fisioterapi. Bentuk terapi latihan fisik ini antara lain senam untuk menguatkan otot, peregangan, pijatan di daerah otot yang tegang, dan latihan keseimbangan.


2. Applied Behavior Analysis (ABA)

ABA merupakan salah satu metode terapi perilaku. Dalam pengajarannya, ABA mengambil prinsip operant conditioning dan respondent conditioning, yaitu perilaku yang diinginkan dan tidak diinginkan yang dikontrol dengan sistem hadiah dan hukuman.

Jika perilaku yang diinginkan muncul, maka anak akan diberikan hadiah. Apabila yang muncul adalah perilaku yang tidak diinginkan, anak akan mendapatkan hukuman. Dengan demikian, anak akan belajar perilaku yang bisa dan tidak bisa mereka lakukan.


3. Terapi Wicara

Biasanya gangguan komunikasi pada penderita autis terdiri dari gangguan verbal, non-verbal, dan kombinasi. Terapi wicara dilakukan untuk mengajarkan atau memperbaiki kemampuan berkomunikasi secara verbal yang baik dan fungsional (mengungkapkan perasaan, mengenal kata benda, kata kerja, atau kemampuan memulai pembicaraan).

Sejumlah latihan yang biasanya dilakukan: bertepuk tangan dengan ritme yang berbeda, meniru bunyi vokal, mengulang kata dan kalimat, belajar mengenal kata benda dan sifat, merespons bunyi-bunyi dari lingkungan sekitar dan belajar membedakannya.


4. Terapi Okupasi

Terapi okupasi bertujuan untuk melatih kemampuan motorik halus mereka. Salah satu latihan yang biasa dilakukan adalah menyusun barang-barang kecil untuk melatih konsentrasi yang melibatkan kerja otak, mata, dan tangan secara bersamaan.

Untuk melatih motorik tangan, penyandang autisme juga diajari cara memegang pensil, pulpen, atau sendok dengan benar. Pada terapi ini, biasanya diajarkan juga melakukan kegiatan sehari-hari seperti cara memakai topi, sepatu, dan baju. Juga cara makan dan minum tanpa bantuan orang lain.


5. Terapi Biomedik

Terapi biomedik banyak diterapkan pada anak penyandang autis karena menurut penelitian, terdapat gangguan metabolisme dalam tubuh penyandang autis yang memengaruhi susunan saraf pusat. Terapi ini mencari sumber gangguan dan memperbaikinya, sehingga fungsi susunan syaraf pusat menjadi lebih baik. Pemeriksaan yang dilakukan biasanya melalui pemeriksaan darah, urine, rambut, dan feses.


6. Terapi Makanan

Mengatur pola makanan adalah hal penting untuk dilakukan pada penyandang autis. Ada beberapa makanan yang harus dihindari, yaitu yang mengandung gluten, kasein, serta zat lain seperti penambah rasa (MSG) pewarna makanan, gula sintetis, dan ragi yang digunakan untuk fermentasi makanan.

Menurut Edi Setya Pambudi, MA,Psy., dari Duta Pelita Insani Consulting, selain peran para terapis, peran orang tua dan keluarga sangat penting dalam keberhasilan terapi-terapi ini. Orang tua harus bisa berkomunikasi dengan sang anak, serta mengerti kebutuhan dan penanganan yang tepat agar bisa mempelajari dan mengembangkan terapi-terapi ini di rumah. (M&B/Vonia Lucky/SW/Dok. Freepik)