Follow Mother & Beyond untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow Instagram @motherandbeyond_id dan Youtube Mother & Beyond
Angka kematian ibu dan anak atau bayi baru lahir nyatanya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Seperti data yang dilaoprkan, bahwa kasus AKI masih terjadi hingga 305 dari 100.000 kelahiran. Padahal target Millennium Development Goals (MDGs) harusnya lebih rendah, yaitu 102 per 100.000 kelahiran
Kasus kematian ini terbagi pada masa selama kehamilan, persalinan, dan juga masa nifas. Angka tersebut juga tidak mengalami perubahan signifikan setiap tahun. Dan beberapa faktor di antaranya seperti pernikahan usia dini, jumlah kehamilan terlalu banyak, hingga lahirnya bayi prematur.
Meski sudah sering dilakukan survei, sayangnya belum terlihat jelas penyebab pasti dari meningkatnya AKI. Hal ini yang membuat Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) melakukan penelitian mendalam agar diketahui faktor utama dari AKI yang selalu bertambah.
Penelitian tersebut bertajuk Evidence Summit, yang tidak hanya melihat faktor tetapi juga cara menurunkannya. Penelitian ini sendiri berlangsung sejak Juni 2016 hingga Maret 2018, dengan melihat lebih dari 7.000 literatur sebagai referensi.
Ketua tim penelitian, Prof. DR. dr. Akmal Taher, SpU (K) pun menjelaskan secara garis besar penelitian tersebut kepada Okezone. Hal pertama yang menjadi kunci dilihat dari kualitas pelayanan kesehatan. Kemudian sistem rujukan rumah sakit, pengaruh keberadaan JKN, dan terakhir kebijakan dari pemerintah pusat atau setempat.
Dari hal-hal tersebut, didapatkan 6 penyebab utama dari semakin meningkatnya angka kematian ibu dan bayi baru lahir sebagai berikut:
1. Masih ada kesenjangan akses terhadap pelayanan kesehatan berkualitas, yang berhubungan erat dengan kondisi ekonomi dan sosial.
2. Keterlambatan mendapat pertolongan pada keadaan darurat, yang berhubungan dengan lokasi kelahiran dan proses pengambilan keputusan untuk mencari pertolongan tenaga ahli.
3. Pengetahuan tentang pendidikan kesehatan reproduksi yang belum memadai.
4. Deteksi awal dan upaya pencegahan yang belum maksimal untuk penyakit komplikasi kehamilan, seperti malaria, tuberculosis, hepatitis B, diabetes melitus, jantung, dan obesitas.
5. Belum terpadunya data dan sistem informasi kesehatan yang berpengaruh pada pengambilan kebijakan.
6. Regulasi yang tumpang tindih dan bias gender, contohnya UU Perkawinan No.1/1974 yang mengatur usia pernikahan minimal 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki.
Melalui hasil tersebut, bisa menunjukkan bahwa ada beberapa hal yang perlu diperhatikan lebih oleh pemerintah. Selain itu, masyarakat juga bisa lebih sadar akan tindakan yang bisa menyebabkan risiko kematian pada ibu dan bayi baru lahir. (Vonia Lucky/TW/Dok. Freepik)