Follow Mother & Beyond untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow Instagram @motherandbeyond_id dan Youtube Mother & Beyond
Punya bayi dengan status sebagai karyawan tidaklah mudah. Karena, bayi bukan hanya diberi makan lalu tumbuh begitu saja. Ia butuh dididik dan distimulasi agar tumbuh sehat, baik fisik, psikis, maupun sosial.
Permasalahan yang sering muncul bagi ibu bekerja adalah keterbatasan waktu yang ia miliki. Dari masalah ini, akhirnya tak sedikit anak yang tumbuh minim stimulus dan didikan. Padahal, kemampuan ia berkompetisi di masa depan salah satunya bergantung pada masa ini.
Psikolog anak dari Lembaga Psikologi Terapan (LPT) Universitas Indonesia, Mira D. Amir, menjelaskan, solusi agar ibu pekerja bisa mendidik anak dalam waktu terbatas, sebelumnya ia harus paham dan sadar betul tentang signifikannya masa 2-5 tahun pada bayi.
Masa itu merupakan masa penting yang disebut sebagai golden age, di mana pembentukan karakter atau sifat anak terbentuk di periode dini, dan sifatnya menetap tanpa bisa diperbaiki lagi atau diulang lagi. Gambaran seperti apa seorang anak di masa depan, bergantung di masa ini.
“Mau punya anak pintar? Cerdas spiritual? Anak penurut atau baik? Semuanya tidak datang begitu saja. Semua perlu dibentuk, yakni dididik dan distimulus setiap hari. Bila masa emas ini orang tua, khususnya ibu, bisa mengoptimalkannya dengan baik, minimal saya yakin bayi itu akan tumbuh jadi anak yang sopan. Sementara jika orang tua abai, maka sifat sebaliknya yang orang tua dapatkan. Inilah makanya masa ini disebut masa emas: hanya terjadi sekali,” ungkapnya dalam wawancara eksklusif dengan redaksi Mother & Babylewat sambungan telepon, Selasa (16/1/2018).
Oleh karenanya, anak harus dijadikan prioritas pertama dan menjadikan pekerjaan sebagai usaha tambahan keuangan keluarga. “Itulah konsekuensi logis yang harus dijalani ibu pekerja agar bisa mendidik anak, tidak ada cara lain. Ya, Anda harus menomersekiankan yang lain. Pokoknya, jam pulang kantor sudah datang, langsung pulang,” ungkap Mira.
Adapun dasar dari kegagalan ibu pekerja dalam mendidik anak biasanya karena si Ibu hanya mengetahui perannya tapi tidak menyadarinya.
“Saya punya klien, yang sebenarnya tahu kalau anak harus jadi prioritas. Tapi mereka tidak menyadari, hanya tahu saja. Akhirnya, dia pribadi yang komplain sama keadaan, seperti 'Ya ampun, udah tiga bulan saya belum ke salon' atau 'Ah, setelah kerja saya mau ke creambath, menghilangkan capek'. Tidak bisa begitu. Itu namanya sifatnya kurang menerima, dan bisa memengaruhi bayi,” paparnya.
Ditambahkannya, kalau ibu labil secara emosi itu anaknya bakal terganggu emosinya. Yang mana terbuka kemungkinan penyerapan kognisinya bermasalah dan pengendalian diri terhadap masalah jadi kacau.
“Saya punya klien dulu ibunya pekerja, sekarang anaknya sudah SMP masih ngompol. Terus dia nelpon saya untuk minta jadwal untuk konsultasi, tapi anaknya nggak mau. Sebagai psikolog, kami kan tidak bisa memaksa, ya. Kalau mau, si ibu harus menjelaskan baik-baik, semisal nama saya siapa dan praktik di mana, kemudian minta si anak untuk Googling. Kan dia sudah SMP. Tapi ibunya kekeh bakal membawa anaknya dengan cara membohongi dia. Sampai segitunya,” ungkapnya.
“Nah, ibu itu dulunya pas sampai rumah setelah ngantor, dia nggak sabaran. Dia pengen anaknya cepat melakukan banyak hal, dan terus harus nurut. Jadi pas masa perkembangannya, anaknya tumbuh jadi anak yang cemas. Akhirnya masih suka ngompol saat SMP baik malam ataupun siang,” tambah Mira.
Adanya komitmen dengan diri sendiri itulah yang harus dibangun oleh ibu pekerja, simpul Mira. Karena kalau sudah berkomitmen, pasti di tempat kerja prinsipnya “teng-go”: begitu sudah “teng” jam pulang, ia langsung “go” ke rumah untuk mendidik anak mereka. (Qalbinur Nawawi/Dok. Freepik)
Baca juga:
Yang Harus Diperhatikan Ibu Bekerja dalam Mendidik Anak
Menitipkan Anak pada Kakek-Nenek? Boleh Kok! Asalkan..
Ini Kata Psikolog Mengapa Mendidik Anak Harus Fun