Type Keyword(s) to Search
BUMP TO BIRTH

Hadapi Konflik Pasca Melahirkan dengan 4 Cara Ini

Hadapi Konflik Pasca Melahirkan dengan 4 Cara Ini

Follow Mother & Beyond untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow Instagram @motherandbeyond_id dan Youtube Mother & Beyond

Konflik pasca-melahirkan yang dihadapi seorang ibu muda, bukan hanya soal beradaptasi dengan peran baru menjadi ibu. Tetapi konflik akibat perbedaan pendapat dengan orang tua juga bisa terjadi, dan hal ini bisa membebani pikiran ibu baru.

 

Perubahan mood yang umum dialami ibu baru melahirkan bisa memicu konflik pasca-melahirkan antara orang tua dan ibu baru. Namun menurut psikolog TigaGenerasi, Inez Kristanti, M.Psi, perubahan mood pada ibu pasca-melahirkan adalah hal yang wajar.

 

“Perubahan mood di 1 sampai 2 minggu pasca-melahirkan, memang umum terjadi pada kaum wanita. Sekitar 70 persen ibu, mengalami postpartum blues. Bila perasaan ini ditambah dengan tanggungjawab baru menjadi ibu, bukan tak mungkin akan membuat ibu baru menjadi lebih sensitif. Salah satunya, ketika menghadapi orang tua atau mertua yang memiliki cara tersendiri dalam merawat bayi,” jelas Inez pada talkshow #DamaiDenganIbu beberapa waktu lalu.

 

Gaya pengasuhan orang tua milenial dengan orang tua zaman dulu yang berbeda juga berpotensi memicu konflik pasca-melahirkan terhadap para ibu baru. Meski tidak sedikit pula orang tua dari ibu-ibu milenial yang tetap memercayai gaya pengasuhan era sebelumnya, karena telah sukses mempraktikkannya sendiri.

 

Konflik ibu baru dan orang tua ini dapat dihadapi dengan bijak dan tidak perlu berkembang menjadi keretakan hubungan ibu-anak yang berkepanjangan, terutama dengan memahami posisi dan sudut pandang orang tua maupun diri sendiri. Inez pun memberikan beberapa penjelasan dan solusi agar konflik pasca-melahirkan tak menjadi perselisihan yang berkepanjangan, seperti berikut:

 

1. Pahami bahwa baik ibu maupun sang nenek memiliki tujuan dan maksud yang baik demi Si Kecil, sehingga tidak perlu menanggapi perbedaan dengan rasa permusuhan.

 

2. Komunikasikan perbedaan dan cari kesepakatan dalam pengasuhan anak.

 

3. Tetap izinkan sang nenek terlibat dalam pengasuhan dan perawatan si cucu. Namun sepakati bersama, sejauh mana sang nenek boleh terlibat, dan hal-hal apa yang akan dilakukan dengan “cara ibu” sendiri.

 

4. Jika yang berbeda adalah soal teknis merawat anak, misalnya nenek memercayai mitos ASI atau MPASI tertentu, tapi ibu tidak ingin menjalaninya, ibu bisa menyiapkan data pendukung untuk menjelaskan alasan memilih pengasuhan gaya ibu sendiri. Dan jangan lupa, sampaikan semua ini dengan sopan dan kepala dingin.

 

Inez juga memberikan pesan kepada ibu muda untuk lebih bersimpati pada ibu-ibu mereka yang memiliki alasan sendiri untuk terlibat dalam perawatan si buah hati. “Kadang-kadang, kehadiran cucu bagi seorang nenek di usia senja, ibarat sesuatu yang mengembalikan makna hidup mereka. Jadi wajar kalau mereka mau memberikan perhatian yang besar dan terbaik untuk cucunya,” tambahnya. (Vonda Nabilla/TW/Freepik)