Follow Mother & Beyond untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow Instagram @motherandbeyond_id dan Youtube Mother & Beyond
Di tanggal 8 Maret lalu seluruh dunia merayakan International Women’s Day. Ini merupakan perayaan dari pencapaian banyak wanita di seluruh dunia yang membuktikan bahwa gender bukanlah pembatas mimpi dan prestasi. Juga di saat yang sama, untuk mengingat perjuangan yang masih jauh dari usai, untuk persamaan hak dan kesempatan bagi wanita yang masih mengalami intimidasi bahkan penindasan.
Perayaan ini ditandai dengan berkumpulnya banyak orang, baik pria maupun wanita, dalam aksi damai di berbagai belahan dunia untuk menyatakan bahwa sudah saatnya perempuan tidak lagi dibatasi dan dikurangi nilainya, hanya karena dia perempuan.
Tanggapan pun berbeda-beda. Banyak yang mendukung, tapi tidak sedikit juga yang mencibir. Termasuk wanita. Ada yang berkata “Ah, saya tidak mau disebut sebagai feminis. Saya tidak membenci pria. Pria menghormati saya. Saya tahu posisi saya, suami saya adalah pemimpin keluarga dan saya tidak mungkin melebihi peran saya. Wanita yang mau menjadi sama dengan pria itu artinya tidak mengerti kodrat.”
Well, first thing honey. Bukan itu artinya menjadi seorang feminis. Feminis bukan pembenci pria. Bukan pengingkar takdir. Seorang feminis berkeyakinan bahwa hak pria dan wanita adalah sama di mata hukum. Bahwa wanita dan pria memiliki hak yang sama untuk bermimpi dan untuk meraih mimpinya. Bahwa gender seorang manusia bukanlah penentu nasibnya. Jadi pada hakikinya, seorang feminis adalah seorang humanis.
Hanya karena Anda tidak mengalami penindasan, bukan berarti penindasan itu tidak ada. Hanya karena Anda menjalani hidup yang penuh dengan kesempatan dan kemudahan, bukan berarti itu sama untuk semua orang. Sama halnya Anda tidak bisa mengatakan bahwa bencana kelaparan itu tidak ada di muka bumi karena Anda tidak kelaparan.
Faktanya, masih sangat banyak anak perempuan di luar sana yang tidak akan pernah merasakan bangku sekolah hingga tamat. Masih banyak anak perempuan yang harus berhenti sekolah karena diharuskan menikah muda. Masih sangat banyak perempuan korban kekerasan tidak berani melaporkan pria yang melukainya karena yang dibela selalu pelaku, yang disalahkan korban. Kenapa keluar malam? Kenapa pakai baju minim? Kenapa pergi sama pria? Sementara si pria pelaku yang fisiknya akan selalu lebih kuat dari wanita, mencari korban selanjutnya tanpa konsekuensi.
Itulah alasan kenapa banyak manusia di seluruh dunia berbaris bersama dalam semangat solidaritas, untuk menyerukan bahwa hal-hal primitif seperti ini harus dihentikan dan dihilangkan. Sama halnya seperti manusia di era modern yang telah sadar untuk menolak kolonialisme dan perbudakan manusia. Tidak ada manusia yang boleh dijajah haknya dan dirampas kebebasannya.
Walaupun saya tidak berbaris bersama mereka, saya satu suara dengan mereka. Hal paling mendasar yang bisa membiarkan ketidakbenaran terus terjadi adalah orang-orang baik yang terus mendiamkan ketidakbenaran itu. Harapan saya, saat dua anak perempuan saya dewasa nanti, perjuangan mereka di masa depan bukan lagi untuk meraih keadilan, tapi untuk meraih buah keberhasilan dari dunia yang menghargai dan menghormati seluruh isinya. (Cisca Becker/SR)