Follow Mother & Beyond untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow Instagram @motherandbeyond_id dan Youtube Mother & Beyond
Lahir, hidup, dan mati adalah bagian dari lingkaran kehidupan manusia. Semua orang yang lahir akan mati. Kematian adalah sesuatu yang normal dan pasti terjadi. Lantas mengapa kematian tetap sulit untuk diterima?
Nirasha Darusman (44) termasuk salah satu sosok yang sulit menerima kematian. Apalagi ia harus kehilangan satu per satu anggota keluarganya, adik, ayah, abang, dan mamanya dalam kurun waktu kurang dari tujuh tahun.
Sempat terpuruk, secara perlahan Nirasha berhasil menata hatinya kembali. Dengan dukungan profesional dan orang-orang terdekatnya, ibu dari Anzalna Ashka (14) dan Numma Kaura (9) ini mulai belajar mengelola emosinya lagi.
Segala hal yang berkaitan dengan kehilangan, rasa berduka, dan bagaimana mengatasinya dituangkan oleh Nirasha dalam sebuah buku yang berjudul Lost and Found. Yuk, kenal lebih dekat dengan Nirasha Darusman, seorang grief survivor!
Apa saja kegiatan Nira saat ini?
Selain saya memang penulis dan founder Grief Talk, sebuah komunitas yang membicarakan soal grief, saya juga bekerja di sebuah konsultan. Sebenarnya konsultan ini punya teman-teman, sih. Maksudnya, kita punya “warung kecil” yang dikelola bersama. Perusahaan ini sudah berdiri dari 2011 dan saya bergabung sekitar empat tahun terakhir. Itu saja kesibukan saya, selain tentunya menjadi ibu dari dua orang anak dan menjadi istri.
Dikenal dengan bukunya yang berjudul Lost and Found, boleh diceritakan, apa sih isi buku ini?
Jadi kalau buku Lost and Found memang spesifik tentang perjalanan saya kehilangan hingga memproses rasa dukanya sampai akhirnya memiliki komunitas grieving. Di dalam buku tersebut ada cerita saya kehilangan anggota keluarga, satu per satu, dan juga cerita proses bagaimana saat rasa dukanya datang, sedihnya datang, atau pada saat marahnya datang.
Jadi benar-benar menceritakan semua prosesnya hingga saya kepikiran untuk membuat buku dan membuat komunitas. Pada dasarnya, seperti itu. Namun, secara garis besar, buku Lost and Found menceritakan kisah perjalanan saya dalam mengarungi duka.
Apa yang ingin disampaikan melalui buku ini?
Sebenarnya, tujuan awal buku ini adalah untuk memeluk teman-teman yang mengalami hal duka. Saya merasa orang-orang yang berduka diharapkan bisa cope atau mengatasi rasa dukanya. Diharapkan mereka bisa melewati kehilangan ini dengan cara alami karena kematian pun merupakan hal yang alami, sehingga duka yang dihasilkan oleh kematian itu pun seharusnya bisa dihadapi secara alami. Bisa ikhlas.
Padahal sesungguhnya proses menuju kita kehilangan, lalu kita berduka hingga akhirnya kita bisa benar-benar menerima merupakan proses yang panjang. Nah, buku ini memang tujuannya untuk menemani teman-teman yang harus melewati proses itu.
Dan sebenarnya yang kita butuhkan memang hanya untuk diakui bahwa tidak apa-apa kita bersedih, tidak apa-apa kita kadang-kadang rindu, tapi semua itu bisa dilewati, bisa dijalani, dan kita semua tidak sendirian. Kita bisa melewati pengalaman ini bersama buku ini dan komunitas Grief Talk. Jadi memang tujuan awalnya untuk memeluk orang-orang yang berduka.
Sebenarnya yang kita butuhkan memang hanya untuk diakui bahwa tidak apa-apa kita bersedih, tidak apa-apa kita kadang-kadang rindu, tapi semua itu bisa dilewati, bisa dijalani, dan kita semua tidak sendirian.
Lost and Found berkisah tentang kehilangan. Menurut Anda, apa hal tersulit yang harus dihadapi saat kehilangan seseorang yang dekat dengan kita?
Yang pasti, hal tersulit adalah menerimanya. Menerima fakta bahwa secara fisik orang ini sudah tidak ada lagi bersama kita. Karena ketika kita kehilangan orang yang signifikan dalam hidup, apakah itu orang tua, atau dalam kasus saya kehilangan kakak dan adik, kita selalu bareng jadi akan susah banget menerima kehilangan tersebut.
Dan juga yang sulit menurut saya adalah secondary loss. Jadi ada initial loss dan secondary loss. Initial loss adalah si kehilangan itu sendiri. Secondary loss, yaitu hal-hal yang terjadi setelah kehilangan itu yang membuat kita teringat. Contohnya, pada hari-hari atau momen yang berarti, seperti ulang tahun. Kita kan berharap orang ini ada saat momen tersebut. Dan hal itu bisa terjadi seterusnya. Atau saya misalnya, saat anak memiliki prestasi atau berhasil apa. Ingin memberitahu ayah tentang hal ini, tidak bisa. Ingin memberitahu ibu, juga tidak bisa. Lalu saya merasa sedih. Hal ini dalam ilmu psikologi, dinamakan secondary loss.
Hal ini juga sesungguhnya sulit karena dialami secara terus-menerus. Kalau initial loss atau kehilangan pertama juga sulit, tapi seiring dengan berjalannya waktu, kita bisa terima. Namun, secondary loss itu yang terjadi lagi, lagi, dan lagi.
Lalu apakah itu special moment atau hard moment kala kita lagi kesusahan, lalu kita seperti ingin mengadu kepada seseorang tapi tidak bisa, itu termasuk secondary loss yang terus-menerus. Atau misalnya harus datang ke sebuah acara dan kita kehilangan pasangan sehingga harus datang sendiri, kita juga merasakan secondary loss. Sepertinya ada yang kurang dalam hidup dan hal itu yang sepertinya akan membuat kita-kita yang kehilangan, harus struggle.
Jadi ada initial loss dan secondary loss. Initial loss adalah si kehilangan itu sendiri. Secondary loss, yaitu hal-hal yang terjadi setelah kehilangan itu yang membuat kita teringat.
Selain melalui tulisan, apakah Anda pernah mengikuti konseling untuk mengatasi rasa kehilangan?
Pada akhir 2017, saya akhirnya memutuskan untuk pergi ke psikolog dan didiagnosis mengalami depresi ringan, prolonged grief disorder, dan anxiety after loss. Nah, karena saya memiliki masalah tersebut, jadi saya pergi ke psikolog memang untuk terapi beberapa kali guna mengelola semua masalah itu, mengurai semuanya.
Dan memang menurut saya, menulis itu akhirnya jadi alat yang paling baik karena saya memang senang menulis. Di situ, saya bebas berekspresi tanpa ada yang menghakimi tulisan saya karena tulisan itu memang hanya buat saya. Jadi, memang menulis menjadi sesuatu yang saya pakai untuk bisa mengekspresikan secara terus-menerus.
Selain itu, saya juga belajar teknik bernapas karena memiliki anxiety. Ada satu buku berjudul Anxiety: The Missing Stage of Grief yang ditulis oleh Claire Bidwell Smith. Claire ini juga mengalami duka. Dia kehilangan ibunya di umur 18 tahun dan kehilangan ayahnya di usia 24 tahun.
Dia mengalami panick attack pertama kali tak lama setelah kehilangan ibunya. Dan Anxiety itu merupakan bukunya yang ketiga. Di situ, dia menjelaskan bahwa semua orang yang mengalami kehilangan akan punya kecemasan. Kenapa? Karena kita kan sudah pernah mengalami hal yang buruk, jadi pasti kita juga akan terbayang hal yang buruk juga ke depannya.
Akhirnya saya belajar menerima bahwa saya memiliki anxiety. Kedua, bagaimana nih caranya jika anxiety itu datang? Dahulu, saking parahnya anxiety dan pikiran buruk tersebut, seperti misalnya suami sakit atau anak sakit, maka di visual saya adalah kuburan. Pikirannya sudah sejelek itu, sudah separah itu, padahalnya anaknya hanya demam 38 derajat Celsius.
Lalu saya belajar meditasi, belajar napas, belajar sama almarhum Reza Gunawan. Jadi kalau anxiety, kita akan mengkhawatirkan sesuatu yang di depan dan belum terjadi. So, kita diajarkan untuk mengingat bahwa kita berada di sini, belum di depan.
Jadi saya belajar bernapas, untuk fokus mengingat anak saya ada di sini. Belum terjadi apa-apa sehingga tidak berpikir ke depan. Itu sih yang saya pelajari selain menulis, saya juga belajar meditasi dan bernapas. Teknik TAT (Tapas Acupressure Technique) Reza Gunawan juga turut membantu saya.
Lantas apa yang membuat Anda merasa harus segera berkonsultasi dengan ahlinya karena tak sedikit orang yang enggan meminta bantuan profesional?
Pertama, saya tidak pernah menganggap pergi ke psikolog sebagai sesuatu yang aneh. Tapi dalam kasus saya, kejadiannya hanya stres, stres, dan stres, hingga pada akhirnya mengganggu lingkungan sekitar, yaitu keluarga dan teman-teman terdekat. Jadi, pada saat itu, saya pergi ke psikolog karena teman-teman terdekat mengingatkan, “Nir, kayaknya kamu sudah saatnya ke psikolog, deh.”
Sebelumnya saya memutuskan untuk ke psikolog, saya juga mengalami minor depression, yaitu saya menangis selama dua minggu tanpa berhenti, bukan karena sedih. Ya, ingin menangis saja. Itu sih yang menjadi wake up call. Mengingat saya juga sering membaca dan browsing-browsing, jadi merasa ini sepertinya sudah butuh bantuan profesional.
Saat itu juga saya menelepon suami dan bilang kalau dia sudah pulang dari dinas untuk menemani saya ke psikolog. Alhamdulillah, saya memiliki gift berupa support system yang luar biasa.
Apakah rasa kehilangan itu bisa hilang sepenuhnya? Bahkan setelah kita, misalnya, mengikuti konseling atau menulis buku seperti Nirasha?
Sayangnya, tidak bakal hilang karena kita pasti akan merindukan mereka yang telah pergi, selamanya. Saya selalu bilang kepada member di Grief Talk, perasaan itu tidak akan hilang, tapi mungkin pelan-pelan kita bisa menerima faktanya bahwa mereka memang sudah tidak ada.
Kedua saat kita sudah menerima, ketika menangis pun bukan menangisi mengapa mereka tidak di sini, tapi menangis karena kangen saja.
Dan yang ketiga, akhirnya kita bisa benar-benar menerima kejadian yang di belakang dan hopefully kita menerima kejadian yang belum terjadi. Mungkin hal itulah yang bisa menyembuhkan anxiety. Dan pelajaran terbesarnya adalah benar-benar berserah.
Pertama mengakui dan yang kedua kenali apa yang terbaik buat kita sendiri untuk release. Baru yang ketiga jika ini dilakukan secara terus-menerus, mungkin kita bisa mencapai acceptance.
Menurut Anda, kapan seseorang perlu meminta bantuan dari ahli saat menghadapi rasa kehilangan orang-orang yang dicintai?
Jawabannya ada dua. Pertama adalah kalau kita merasa kita sudah tidak bisa beraktivitas sehari-hari seperti biasa atau kalau kita sudah merasa kita sudah tidak seperti dulu lagi. Misalnya, kita jadi lebih gampang marah, gampang nangis, pokoknya lebih sensi lah.
Hal itu sudah menjadi tanda-tanda, karena kalau kita sudah seperti itu, artinya sudah mengganggu relationship kita dengan orang-orang terdekat, keluarga, anak, atau pasangan. Belum lagi mengganggu hubungan kerja. Itulah tanda bahwa kita harus meminta bantuan profesional.
Atau misalnya, aktivitas sehari-hari juga sudah terganggu, seperti susah makan atau makan terlalu banyak. Susah tidur atau tidur terlalu lama, itu juga menjadi alarm.
Pergi ke profesional juga ada dua. Anda bisa pergi ke psikolog atau ke psikiater. Kalau ke psikolog, kita biasanya diajak mengobrol terlebih dahulu dan dia akan mencari tahu masalah, didiagnosis, lalu dicari solusi untuk bisa mengurai masalahnya. Kalau ke psikiater, mungkin untuk kasus yang lebih berat, misalnya susah tidur yang sudah kronis.
Kedua, sebenarnya kapan pun kalau kita merasa kita butuh bantuan dan tidak perlu alarm, kita bisa langsung berkonsultasi ke profesional. Misalnya saat punya banyak pertanyaan kepada diri sendiri atau bingung, bisa langsung meminta bantuan tanpa alarm-alarm tadi.
Saran dari Anda buat para Moms yang pernah merasakan kehilangan. Bagaimana step by step untuk mengatasinya?
Pertama, akui rasa. Jadi akui semua rasa yang datang. Namun, Anda harus ingat bahwa ada perbedaan antara mengakui rasa dan bereaksi terhadap rasanya.
Yang sesungguhnya perlu dijaga adalah respons terhadap rasanya itu, misalnya kita sedih, lalu menangis meraung-raung sampai mengganggu orang. Inilah yang disebut reaksi terhadap rasa sedih dan perlu kita jaga. Namun, kita tetap harus mengakui bahwa kita sedang sedih dan ingin menangis. Dan hal itu bisa kita keluarkan secara secukupnya.
Kedua, kita bisa mencoba mengenali diri kita sendiri untuk mengetahui bagaimana caranya memproses rasa kehilangan ini. Kalau saya, saya tahu saya suka menulis. Jadi, ketika saya merasa sedih, saya memilih untuk menulis. Sehingga release kesedihannya ke arah situ.
Jadi kenali diri, apakah Anda senang menulis? Masak? Berolahraga? Tapi, ingat jangan sampai hal itu menjadi pelarian. Kita harus aware. Bukan berarti ketika sedih, kita harus berolahraga. Hal itu juga tidak benar. Olahraga malah menjadi distraksi atau pelarian. Jadi kenali dulu, berpikir saya ingin berolahraga karena ingin make myself feel better.
Pertama mengakui dan yang kedua kenali apa yang terbaik buat kita sendiri untuk release. Baru yang ketiga jika ini dilakukan secara terus-menerus, mungkin kita bisa mencapai acceptance.
Tentang kehilangan, saya bercerita kepada anak-anak bahwa rasa itu pada akhirnya harus bisa diterima walau prosesnya panjang. Dan saya mengatakan bahwa hingga kini saya juga masih berproses. Kadang-kadang masih kangen. Ketika saya kangen dan tiba-tiba nangis, saya juga tak bersembunyi. Saya memperlihatkan kepada mereka.
Anda juga founder Grief Talk? Siapa saja yang bisa bergabung dengan komunitas ini dan apa saja kegiatannya?
Saya adalah salah satu dari 3 founder Grief Talk. Awalnya memang hanya bertemu melalui sesi zoom atau share melalui Instagram pribadi. Lalu bertemu dua founder lainnya dan kami memiliki misi yang sama sehingga membuat social media sendiri. Kegiatannya sejauh ini, setiap Kamis, dua kali dalam sebulan, kita ada pertemuan online sekali dan offline sekali.
Di sini, kami hanya berkumpul para grievers untuk saling bercerita saja. Cerita kehilangan, cerita lagi kangen, atau nangis bareng. Tidak ada yang menghakimi. Saya bukan ahli atau merasa lebih pintar, jadi kami semua sama. Grief Talk ini memang visinya mengedukasi siapa pun tentang duka. Tujuan kita adalah menormalisasi grief atau rasa duka.
Sebagai ibu, bagaimana Anda mengajarkan soal kehilangan kepada anak-anak?
Sebenarnya mengajarkan tentang kehilangan atau apa pun ke anak-anak, buat saya intinya selalu sama. Saya akan berbicara apa adanya. Saya tidak akan berbohong atau berbicara yang tidak benar. Jadi saya akan berbicara apa adanya, tapi dengan bahasa yang sesuai dengan usia anak-anak.
Dalam case kehilangan, saya bilang bahwa people die. Lalu kita akan kehilangan dan merasa sedih. Hanya saya juga mengatakan konsepnya bahwa yang meninggal itu hanya badannya. Badannya ada expire date-nya dan kita tidak tahu kapan karena bukan di tangan kita.
Jadi, mudah-mudahan kita bisa menjadi yang terbaik saat hidup. Dan ketika sudah meninggal, makanya jiwanya yang abadi.
Tentang kehilangan, saya bercerita kepada anak-anak bahwa rasa itu pada akhirnya harus bisa diterima walau prosesnya panjang. Dan saya mengatakan bahwa hingga kini saya juga masih berproses. Kadang-kadang masih kangen. Ketika saya kangen dan tiba-tiba nangis, saya juga tak bersembunyi. Saya memperlihatkan kepada mereka.
Dahulu mereka memang sempat bingung. Tapi, saya memberi penjelasan mengapa saya menangis karena kangen ayah atau keluarga. Jadi, kalau sekarang saya menangis, mereka akan bertanya saya sedang kangen sama siapa?
Saat kita terlihat vulnerable di depan anak, kita memberitahu bahwa ibu juga seorang manusia. Kita tidak selamanya kuat. Bisa dibilang, saya mengajarkan anak-anak tentang kehilangan dengan mencontohkan saja bagaimana cara meng-handle kehilangan. (M&B/Wieta Rachmatia/SW/Foto & Digital Imaging: Insan Obi/Makeup: Aksis Mipi (@aksismipi_mua)/Hairdo: Wulan (@nwhair)/Stylist: Gabriela Agmassini & Thalita Putik/Wardrobe: Nirasha – Indilane (@indilane.id); Numa – Lilbroandsist (@lilbroandsist); Novita Angie – Oline Workrobe (@olineworkrobe))