Type Keyword(s) to Search
BABY

Benarkah Bayi yang Lahir Caesar Lebih Mudah Sakit? Ini Faktanya!

Benarkah Bayi yang Lahir Caesar Lebih Mudah Sakit? Ini Faktanya!

Follow Mother & Beyond untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow Instagram @motherandbeyond_id dan Youtube Mother & Beyond

Semua ibu tentu ingin melahirkan dengan cara terbaik untuk bayinya. Kebanyakan mendambakan persalinan per vaginam, tetapi mungkin muncul beberapa kondisi medis yang mengharuskan Moms untuk melahirkan dengan operasi caesar.

Mana yang lebih baik? Baik per vaginam atau operasi caesar tak ada yang salah dan tak ada yang perlu diperdebatkan ya, Moms. Apa pun metodenya dalam melahirkan Si Kecil, perjuangan semua Moms sama hebatnya!

Kenapa para Moms banyak yang mendambakan persalinan per vaginam? Mungkin, karena beredar info kalau bayi yang lahir caesar lebih mudah sakit. Fakta atau cuma hoaks nih, Moms? Read on!

Benarkah gampang sakit?

Anak yang lahir secara caesar jadi gampang sakit, ternyata ini ada benarnya, lho! Berbagai penelitian menguak fakta kalau anak yang lahir secara caesar memang lebih rentan sakit.

Ini karena pada persalinan per vaginam, bayi akan lahir melewati jalur lahir. Dengan begitu, bayi akan bersentuhan langsung dengan bakteri-bakteri baik di vagina. Nah, bakteri baik inilah yang secara alami berguna untuk membentuk antibodi atau sistem kekebalan tubuh anak.

Sementara pada persalinan caesar, bayi tidak terkena bakteri yang ada di jalur lahir dan vagina. Akibatnya, bayi yang lahir caesar jadi lebih gampang sakit, karena antibodinya belum terbentuk baik atau tidak sebaik bayi yang lahir per vaginam. Daya tahan bayi caesar cenderung lebih lemah. Penyakit apa saja yang sering menyerang bayi yang lahir caesar? Baca di bawah ini, ya.

Bayi lahir caesar lebih rentan penyakit…

Sudah terbukti secara penelitian! Ternyata anak yang lahir secara caesar lebih rentan mengalami beberapa penyakit ini lho, Moms.

1. Obesitas dan asma

Sebuah penelitian oleh Jan Blustein, MD, PhD, dari New York University's Wagner School dan Jianmeng Liu dari Peking University yang dipublikasikan di British Medical Journal menyebutkan bahwa newborn yang lahir secara caesar rentan mengalami penyakit kronis di kemudian hari.

Fakta ini masih dalam penelitian lebih lanjut. Mengutip Science Daily, penyakit kronis yang dimaksud bisa penyakit obesitas, asma, dan diabetes.

2. Autisme

Sebuah penelitian yang dipublikasikan di JAMA Network meneliti 20 juta persalinan. Anak yang dilahirkan caesar secara signifikan dikaitkan dengan gangguan spektrum autisme dan attention deficit hyperactivity disorder (ADHD).

3. Penyakit inflamasi usus

Sebuah penelitian pada 2020 yang dipublikasikan di Journal of Clinical Epidemiology mengompilasi data penelitian 30 tahun. Hasilnya, diketahui anak yang lahir secara caesar lebih rentan mengalami penyakit inflamasi usus atau sering juga disebut inflammatory bowel disease. Penelitian juga menyebutkan bahwa anak caesar lebih rentan diabetes, arthritis atau radang sendi, dan juga Celiac disease.

4. Gangguan pernapasan

Penelitian yang dipublikasikan di Journal of Clinical Epidemiology juga menyebutkan kalau anak yang lahir caesar juga rentan mengalami gangguan pernapasan. Ini karena saat bayi lahir secara per vaginam, bayi semacam "diperas" saat melewati jalur lahir, sehingga air ketuban pun ikut "diperas" keluar dari paru-paru bayi.

Hasilnya, bayi lahir dengan paru-paru yang lebih bersih dari air ketuban. Sedangkan proses itu tidak terjadi pada persalinan caesar, akibatnya bayi lahir masih dengan paru-paru yang berisi air ketuban. Inilah yang membuat bayi caesar lebih rentan mengalami gangguan pernapasan.

5. Infeksi

Studi pada November 2020 mengumpulkan data 7 juta persalinan di Denmark, Skotlandia, Inggris, dan Australia dari 1996 sampai 2015. Studi ini meneliti jenis persalinan mana yang berkaitan dengan dirawat di rumah sakit karena infeksi di usia dini.

Hasilnya diketahui kalau anak yang lahir caesar lebih rentan terkena infeksi klinis, khususnya infeksi gastrointestinal (seputar perut dan usus), pernapasan, dan virus. Risiko ini terus berlanjut sampai anak berusia lebih dari 5 tahun. (M&B/Tiffany Warrantyasri/SW/Foto: Freepik)