Type Keyword(s) to Search
KID

Anak Ikutan Flexing, Bagaimana Menghadapinya?

Anak Ikutan Flexing, Bagaimana Menghadapinya?

Follow Mother & Beyond untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow Instagram @motherandbeyond_id dan Youtube Mother & Beyond

Moms dan Dads mungkin sudah familiar dengan istilah flexing. Istilah yang satu ini memang lagi sering digunakan menyusul maraknya aksi pamer kekayaaan oleh sederet tokoh masyarakat, mulai dari pejabat hingga selebriti. Namun, sesungguhnya apa sih arti dari flexing dan apa pemicunya? Apakah anak-anak juga bisa flexing?

Seperti dilansir dari Kompas.com, flexing bisa diartikan sebagai tindakan memamerkan baik yang disengaja maupun tidak dan bertujuan untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain. Flexing sesungguhnya bukan istilah baru. Hanya saja, kebiasaan flexing semakin marak dilakukan dengan adanya media sosial sebagai sarana ekspresi diri.

Di Indonesia, aksi flexing banyak dilakukan oleh selebriti dan keluarga pejabat. Bahkan beberapa pejabat di kantor pemerintahan harus menjalani pemeriksaan serta pemberhentian dari jabatan gara-gara aksi flexing yang dilakukan istri, anak, maupun dirinya sendiri.

Salah satu kasus yang ramai dibicarakan adalah aksi flexing yang dilakukan Mario Dandy yang saat ini berstatus sebagai tersangka kasus penganiayaan terhadap David Ozora. Dandy yang merupakan anak dari pegawai Dirjen Pajak, Rafael Alun Trisambodo, sempat terlihat memamerkan mobil dan motor mewahnya di media sosial dan berujung dengan pemeriksaan harta milik sang ayah.

Aksi flexing begitu marak dilakukan. Lantas apa penyebabnya? Apakah hanya demi validasi diri atau pengakuan dari orang lain? Dalam artikel yang dimuat oleh Tempo.co, ada sejumlah faktor yang memicu seseorang untuk melakukan aksi flexing, yaitu:

1. Inferioritas

Aksi flexing justru bisa didorong oleh rasa inferioritas atau kurang percaya diri. Biasanya pelakunya memiliki sifat sensitif dan sulit untuk menerima kritikan.

2. Mencari pengakuan

Sesungguhnya, wajar jika manusia mencari pengakuan atau validasi dari orang lain tentang berbagai hal, seperti kecantikan, kekayaan, dan pencapaian lainnya. Namun, jika dilakukan secara berlebihan, maka hal itu bisa menjadi pertanda adanya masalah psikologis pada diri orang tersebut. Orang-orang yang secara gamblang memamerkan kekayaan mereka, sesungguhnya merasa bahwa orang lain menganggap diri mereka rendah jika tak mampu menunjukkan secara nyata harta benda yang dimiliki.

3. Trauma masa lalu

Disebutkan bahwa kejadian traumatis pada masa lalu juga mendorong seseorang untuk pamer di media sosial. Biasanya, pelaku flexing pernah mendapat perlakuan buruk atau bullying saat masih anak-anak sehingga cenderung berusaha ekstra keras untuk membuktikan dirinya setelah dewasa.

4. Ekspresi diri

Dalam Journal of Early Childhood Education disebutkan bahwa kebiasaan untuk pamer tidak hanya dilakukan orang dewasa. Anak-anak juga bisa flexing sebagai bentuk ekspresi diri yang merupakan bagian dari perkembangan kognitif. Hal ini biasanya dilakukan untuk mendapatkan perhatian dan pujian dari orang tua.

Selain keempat faktor tersebut, flexing juga bisa dilakukan oleh orang-orang yang justru sesungguhnya tidak kaya atau bagian dari trik pemasaran. Selain itu, pengaruh sosial juga ikut mendorong seseorang untuk flexing.

Bagaimana jika anak flexing?

Seperti telah disebutkan di atas, flexing juga bisa dilakukan anak-anak. Hanya saja. Kecenderungan untuk pamer di kalangan anak-anak lebih sebagai tindakan yang tidak disadari.

Sebagai orang tua, Anda mungkin mengajarkan kepada anak untuk bangga atas pencapaiannya. Jadi, jangan heran jika anak memamerkan nilai ulangannya atau medali atas keberhasilannya menjadi juara di lomba lari, kepada teman-temannya. Meski hal tersebut terkesan pamer, kebiasaan ini masih tergolong wajar.

Akan tetapi, Anda harus waspada jika anak memamerkan medalinya selama berhari-hari. “Anda perlu memberikan pengertian kepada anak bahwa tidak ada masalah untuk berbangga hati. Tapi juga tekankan kepadanya bahwa tidak baik untuk membuat orang lain merasa sedih dalam prosesnya,” kata Sylvia Corzato, seorang parenting consultant, seperti dilansir Today’s Parent.

Tanda lainnya yang perlu diwaspadai adalah ketika anak mulai memamerkan mainannya dan harta benda milik orang tua. Jika sudah memasuki tahap ini, Moms dan Dads disarankan untuk melakukan pembicaraan khusus dengan anak Anda.

Jika perilaku ini tak hilang juga, Anda bisa meminta bantuan profesional seperti psikolog. Seperti telah disebutkan sebelumnya, seseorang bisa melakukan flexing karena ia mengalami kejadian yang tidak mengenakkan, seperti bullying. Oleh sebab itu, perlu dicari penyebab flexing sehingga bisa segera ditangani.

Sementara itu, agar anak tidak flexing atau suka pamer, Moms dan Dads perlu memastikan agar ia mendapatkan cukup perhatian. Pasalnya, perilaku flexing juga erat berkaitan dengan usaha untuk mencari perhatian. Jangan lupa juga memberikan contoh gaya hidup sehari-hari yang jauh dari kesan flexing. (M&B/Wieta Rachmatia/SW/Foto: Freepik)