Type Keyword(s) to Search
FAMILY & LIFESTYLE

Mom of the Month: Roslina Verauli, M.Psi., Psi.

Mom of the Month: Roslina Verauli, M.Psi., Psi.

Follow Mother & Beyond untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow Instagram @motherandbeyond_id dan Youtube Mother & Beyond

Sebagai psikolog klinis anak, remaja, dan keluarga, Roslina Verauli, M.Psi., Psi., (45) tetap menghadapi berbagai tantangan yang dialami para ibu kebanyakan. Terutama saat membesarkan Franklinazhel Gunawan (12) dan Benjaminazhel Gunawan (8) yang beranjak remaja.

Mungkin banyak orang yang menyangka bahwa menjadi psikolog bisa menghilangkan berbagai kesulitan hidup, terutama saat merawat dan membesarkan anak.

Verauli setuju bahwa berbagai ilmu yang dipelajarinya membantu dalam proses parenting, tapi tak serta-merta melenyapkan segala keresahan saat menjalaninya. Oleh alasan itu pula, kini ia juga berfokus untuk mengedukasi dan mendorong para orang tua agar lebih mawas dan memperhatikan pribadi Si Kecil saat membesarkannya.

Lalu, bagaimana ia mengatasi berbagai tantangan saat membesarkan Franklin dan Benji? Cara seperti apa yang paling tepat untuk membesarkan seorang anak? Simak kisah lengkapnya di wawancara eksklusif M&B bersama Roslina Verauli, M.Psi., Psi., yang menjadi Mom of the Month Januari 2023 berikut ini!

Vera enggak hanya aktif sebagai psikolog klinis saja ya, tapi ada banyak karya lainnya, contohnya buku dan channel YouTube. Apa alasan menulis buku dan membuat channel Youtube?

Kalau buku, sudah dari dulu, sejak masih lajang. Karena ada orang-orang dengan gangguan tertentu yang membuat tidur tidak begitu panjang dan bangun tengah malam. Jadi, malam dipakai buat menulis. Buku-buku itu ditulis berdasarkan kasus dari ruang praktik.

Pembahasan di dalam ruang praktik, kan semuanya rahasia. Artinya, ada energi yang terbawa sampai rumah. Padahal saya praktik setiap hari, kasusnya juga macam-macam, dan semua itu butuh disalurkan. Menyalurkannya bisa dengan berbagai macam cara sih, misalkan melalui ibadah malam, jogging pagi untuk mencari suasana dengan alam, atau dengan tulisan.

Kalau dulu menyimpan tulisan di laptop, kalau sekarang ya sudah dalam bentuk caption. Jadi ada banyak orang yang berpikir, “Oh, mbak Vera lagi mengalaminya, kah?” Sebenarnya enggak, tapi itu adalah energi dari ruang praktik yang aku salurkan dalam bentuk caption. Haha.

Sementara kalau channel YouTube berdasarkan kesadaran bahwa masyarakat Indonesia ternyata butuh edukasi. Sayangnya, literasinya rendah sehingga sulit membaca bacaan panjang. Jadi, lebih senang membaca lewat caption atau mendengarkan. Oleh karena itu, channel YouTube-ku isinya pure edukasi.

Bagaimana kabar Franklin dan Benji akhir-akhir ini?

So far so good. Dalam pengertian mereka sudah mulai aktif kembali seperti masa sebelum pandemi. Sudah sekolah offline, kegiatan-kegiatan yang sempat terhenti selama pandemi juga sudah mulai aktif lagi, misalnya renang, Thai boxing, juga les Kumon. Kursus piano sudah enggak mesti online lagi. Terus kemudian, ya sudah hampir seperti sebelum pandemi.

Tantangan berpindah dari online ke offline tentunya ada. Benji ini anak pandemi, dia masuk kelas 1 SD saat pandemi. Anaknya termasuk pencemas sebenarnya, sehingga saat belajar dari Zoom, ia merasa cemas karena merasa semua orang sangat pintar. Padahal ternyata, orang tua selalu stand by di samping anak-anaknya saat kelas via Zoom.

Jadi, kalau mengerjakan tugas atau ujian, teman-temannya jago semua. Ia selalu merasa kalau ia enggak pintar seperti teman-temannya. Hingga sekarang masuk kelas 3, karena sudah offline. Sekarang di pelajaran matematika, ia bisa dapat nilai 100. Ia bahkan pernah dikasih challenge untuk menjawab soal kelas 5 dan kelas 6.

Sebenarnya dia anak yang dari kecil agak terabaikan. Mama dan papanya selain kerja, juga preoccupied dengan Franklin. Penanganan, terapi, dan segala hal lainnya. Jadi saat lahir, Benji termasuk anak suster. Soalnya kami melihat, Benji adalah anak yang normal, so far so good. Bisa dibilang, kami orang tua yang agak kecele.

Belum masuk 1 tahun, Benji sudah banyak celotehnya, happy child, senyum-senyum saja, badannya bagus, ASI-nya cukup. Kami pikir, Benji enggak butuh ekstra perawatan. Jadi kami betul-betul fokus dengan kakaknya. Jika dikaitkan dengan peristiwa sebelumnya, kayaknya Benji self-compete dengan kakaknya, atau berpikir bahwa dirinya left behind. Oleh sebab itu, sekarang kita mati-matian berjuang untuk menunjukkan ke Benji bahwa dirinya penting.

Kalau Franklin, sekarang masuk kelas 7. Challenging buat kami. Karena saat mau masuk SD, kami ditolak sampai 3 sekolah. Franklin dari kecil suka ikut mamanya ke mana-mana. Akhirnya ia pintar, untuk anak dengan hambatan seperti Franklin di umur yang sama. Dia menguasai dan paham banyak hal. Ia adalah anak yang sering dijadikan contoh untuk mempelajari abnormal behaviour. Jadi semua tahu kondisi Franklin, yang mungkin membuatnya sulit masuk sekolah.

Kami pernah mendaftarkannya ke sebuah sekolah. Namun ia ditolak, tanpa ada keterangan. Jadi, urusan akademik Franklin cukup challenging dan membuat kami occupied. Tiap semester kami dipanggil kepala sekolah dan homeroom teacher. Dulu, aku bisa menangis sampai seminggu.

Sekolahnya yang sekarang adalah sekolah yang sama saat ia TK dulu. Aku sempat bertemu dengan ownernya dan kami deeptalk tentang kondisi Franklin, dan akhirnya diterima. Tiap semester, kami dipanggil untuk membicarakan kelanjutan berikutnya. Ketika ia lulus SD, hasil pelajarannya ada yang mampu dan enggak. Karena banyak load akademiknya menggunakan verbal, padahal hambatan Franklin sebenarnya di verbal atau comprehending.

Ia kesulitan melihat gambar besar keseluruhan dari sebuah hal. Kalau one by one, ia akan ingat detail. Makanya, interaksi sosial Franklin terbatas. Itu, kan, kendala anak dengan autisme. Sebenarnya kondisi autismenya ringan, tapi kondisi ADHD yang agak berat. Jadi challenging banget. Ia bisa keluar dari kelas untuk melihat kipas angin di kelas lantai 4. Kita bahkan sampai dpanggil untuk permasalahan itu. Kami kemudian sadar, oh, berarti ini adalah PR untuk kami.

Untuk itu, kami membuat catatan untuk memudahkan Franklin bersekolah. Kami mendaftarkannya di Depdikbud sebagai ALB (anak luar biasa). Sekarang ia sudah SMP kelas 7, dan juga challenging saat mencari sekolahnya. Tapi dari dulu kami sudah membicarakannya, we’re planning ahead.

Bersyukur banget ada pandemi, jadi kami paham bahwa ada online school. Kami bisa manfaatkan itu, karena load akademiknya minim. Jadi anak seperti Franklin sangat diuntungkan. Jam sekolahnya sudah selesai di jam 12 siang kurang. Jadi jam-jam selanjutnya, Franklin bisa ikut kursus cooking untuk mengejar sertifikasi. Kami mendorong Franklin ke arah sana sembari memantau apakah sekolah ini cukup untuk memenuhi kebutuhan akademiknya.

Soalnya kami tetap perlu pertimbangkan SMA dan kuliahnya kelak. Kami sudah merencanakan, misalnya mau serius di bidang piano, berarti nanti universitasnya belajar tentang piano, contohnya di New York. Kalau memasak, ada sekolah di Singapura dan Jepang. Baru-baru saja Franklin sangat semangat, karena ada yang mau pesan kue buatannya. Kami kemudian berpikir untuk memberikan produk ini nama.

Franklin masih menikmati sekolah online. Cuma ternyata setelah diamati, sekolah online selalu membuatnya ada di rumah. Sebenarnya, sekolah Franklin ada versi offline juga, yang kemudian disesuaikan dengan kemauan dan kenyamanan Franklin.

Jadi ada hal-hal yang kami ikuti agar ia bisa defence. Sedari kecil yang ingin kami kembangkan pada dirinya, kami enggak pernah memaksanya. Franklin enggak pernah dipermalukan atau dipaksa, meskipun ia bisa dimintai tolong. Jadi orang enggak ada yang memperlakukannya seperti itu kelak. Nah, melatih hal itu yang penting.

Ya, pandemi ini bawa banyak hal, baik untuk Franklin atau Benji. Ternyata ada hal-hal yang mereka pelajari.

Kesulitan menjadi orang tua adalah harus bisa move on seiring perkembangan anaknya.

Ada enggak perbedaan gaya parenting saat mereka masih lebih kecil dan sekarang sudah praremaja?

Wah, memang sulit, lho, jadi parents. Kesulitan menjadi orang tua adalah harus bisa move on seiring perkembangan anaknya. Kebutuhan mereka akan berbeda, dalam konteks gaya pengasuhan. Jadi, pendekatan ke anak yang perlu kita ubah.

Misalnya, Benji dulu itu selalu butuh untuk selalu menempel sama mamanya. Jadi, kita selalu melibatkannya. Namun ketika di umur 6-8, ia lebih mencari papanya. Nah, Moms harus siap ketika anaknya sudah enggak nempel. Kalau mamanya punya isu rejection problem, pasti jadi sulit. Kita perlu ingat bahwa ia butuh figur maskulin, karena ia anak laki-laki.

Jadi, kami selalu diskusi tentang pengasuhan anak-anak. Kalau dulu cara kami bermain dengan Benji tergolong kasar dengan bapaknya, dalam artian smack down dan segala macam. Sedangkan sekarang sudah lebih berkelakuan baik. Sekarang ia sudah mulai punya banyak pertemanan, sehingga enggak lagi totally with us.

Nah, ini akan terasa banget ya, Moms, sebelum 6 tahun dengan 6 tahun lewat. Di usia 8 tahun seperti ini, ia makin enggak mau sama mamanya, sudah enggak mau dipeluk. Nah, siapkah kita untuk move on ketika ia sudah enggak lagi mau dipeluk-peluk? Itu buat ibu-ibu challenging, ya.

Mari kita flashback sejenak, apakah sejak dulu Anda sudah ingin menjadi psikolog klinis anak, remaja, dan keluarga? 

Aku sudah tahu profesi psikolog sejak zaman SD sebetulnya. Dulu merasa ada profesi sebagai psikolog sepertinya keren gitu, ya. Dulu pahamnya kerjaannya adalah mendengarkan curhatan. Padahal jadi psikolog bukan jadi temen curhat, ya. Karena ada tata laksana yang berat, tak semudah curhat. Haha

Tapi sebetulnya, dari dulu memang sudah terpikir untuk menjadi psikolog. When I was young, saya memahami bahwa ternyata penghayatan kita tentang diri, cara kita berelasi dengan orang lain, benar-benar dipengaruhi oleh cara kita menghayati cara parenting dan pengasihan orang tua kita.

Waktu kecil sampai SMP minder banget. Aku punya kakak yang populer, jadi kami berempat perempuan semua. Semuanya juara 1. Hanya aku yang bukan juara 1, tapi juara 2. Jadi aku merasa kayak bodoh banget. Bahkan waktu SMP, semakin turun lagi. Ranking sampai sekian belas, sampai bikin syok orang tuaku. Sementara kakaknya populer, dirigen, anak band, pokoknya populer masuk koran di daerah situ, atau ikut lomba sampai nasional.

Jomplang banget rasanya. But I quite enjoyed it, karena rasanya enggak perlu susah memperkenalkan diri. Ketika masuk lingkungan baru, aku memperkenalkan diri sebagai adiknya kakakku. Aku baru syok, ketika kuliah. Karena begitu masuk Universitas Indonesia (UI), kakak ada di UI Salemba, sedangkan aku di UI Depok. Aku bingung bagaimana mengenalkan diri. I had no idea. Alhamdulillah, punya geng juga. Haha.

Dari sejak lulus jadi psikolog, kemudian buka klinik, sering banyak ketemu public figure, tapi enggak ada pertemanan yang benar-benar bisa terjaga. Karena memang I can not have a good social relationship. Cuma andal di analisis one-on-one, yang ternyata terpakai jadi psikolog. Haha. Jadi memang kesannya, anak yang insecure. Memang, I was insecure, bahkan sampai dewasa masih ada sisa-sisanya. Tapi akhirnya jadi terpakai buat dalam profesi.

Penghayatan kita tentang diri, cara kita berelasi dengan orang lain, benar-benar dipengaruhi oleh cara kita menghayati cara parenting dan pengasihan orang tua kita.

Ada enggak mimpi Anda saat masih kecil yang masih ingin diwujudkan sekarang?

Aku selalu kasihan melihat anak-anak di panti asuhan. Aku selalu kasihan dengan anak anak yang enggak mendapat pendidikan yang layak, atau yang mendapat bad treatment. Waktu kecil, dari dulu in my mind, selalu ada dalam pikiran.

Jadi dari dulu selalu berpikir begini: Nanti kalau aku sudah besar, aku akan bikin rumah khusus untuk melatih anak-anak agar makin pintar. Jadi yang pintar tapi enggak punya biaya, akan aku berikan bantuan. Bukan panti asuhan, tapi ini adalah bantuan buat siapa pun yang enggak punya biaya.

Nah, hal ini belum kesampaian hingga sekarang. Jadi dimulai dari versi kecilnya saja, deh. Anak-anak yang sulit bersekolah di sekitar kita, akan aku support kuliahnya atau studinya. Kalau ini sudah dari zaman lajang.

Tapi rumah yang tadi aku bilang belum. Nanti, one day, aku akan kasih scholarship. Ternyata sulit juga, ya. Makanya aku suka acungi jempol buat mereka yang muda-muda dan sudah berhasil membuat rumah singgah atau rumah belajar untuk anak-anak.

Menurut Anda, apa tantangan terberat sebagai seorang ibu zaman sekarang?

Mungkin ini dialami oleh semua ibu di mana pun. Our concern adalah bagaimana caranya memberi “bekal dan sarapan” yang cukup agar enggak “jajan di luar” gitu, ya. Itu yang penting. Kenyataannya, apakah orang tua paham bahwa sarapan yang betul-betul bisa mencukupi kebutuhan anaknya berbentuk knowledge, cukup edukasi, dan cukup pemahaman tentang anak kita sendiri?

Karena kalau enggak, sekarang mereka gampang saja mencarinya. Tinggal swipe HP, langsung dapat info apa pun dan dalam versi yang bagaimanapun, di dalam genggaman tangannya. Nah, itu dia challenge orang tua zaman sekarang.

Bagaimana caranya agar kita enggak kalah menarik dengan semua info yang ada di sana. Mampu enggak kita sampai di level itu? Tentu aja itu bisa terjadi karena ada koneksinya. Have we built that? Apakah kita sudah terhubung dengan mereka?

Bahkan ada orang tua yang baru sadar saat anaknya sudah mulai remaja. Tiba-tiba sadar, “Kok saya jauh dengan anak saya, ya?” Memang di usia remaja sudah butuh space. Tapi jadi makin jauh rasanya, karena koneksi dan bonding ternyata enggak pernah really there.

How hard a mom mengupayakan untuk hadir meskipun enggak kelihatan sama anak-anaknya. Itu lah hasil bonding tadi, itulah connection-nya, ujiannya di situ.

Apa sih makna ibu hebat menurut Anda?

Ibu yang hebat adalah ibu yang mampu menyesuaikan gaya pengasuhannya dengan profil anak. Tapi memang enggak segampang itu. Haha. 

Apakah orang tua paham bahwa sarapan yang betul-betul bisa mencukupi kebutuhan anaknya berbentuk knowledge, cukup edukasi, dan cukup pemahaman tentang anak kita sendiri?

Menurut Anda, ada enggak sih kesalahan dalam parenting yang biasa dilakukan orang tua zaman sekarang?

Kita selalu pikir bahwa anak-anak dari kacamata kita. Kehadiran Franklin helps me a lot untuk melihat dari kacamata berbeda. Jadi ada banyak orang tua yang enggak sadar, ternyata bahwa anaknya ada masalah.

Karena saat kita melahirkan dan hamil, kita cuma tahu pemeriksaan kehamilan dari konsultasi dengan obgyn. Setelah anaknya lahir nanti selain obgyn ada DSA (dokter spesialis anak). Kemudian oleh DSA, ada pemeriksaan tinggi, berat badan, kecukupan gizi, lingkar kepala, hingga vaksin.

Namun seringkali ada yang terlupa, yaitu kualitas tumbuh kembang yang butuh kita cermati. Aku memahami ini karena aku punya anak. Makanya, hal itulah yang aku selalu suarakan.

Anak butuh pemeriksaan tumbuh kembang. Kenapa? Karena gangguan tersebut sudah bisa dicermati begitu anak lahir. Jadi jangan telat, deh. Beruntung karena aku berprofesi sebagai psikolog, jadi sudah mencermati pertumbuhan anak dari kecil.

Bagaimana dengan kabar ibu-ibu lain? Ada, lho, anak-anak yang baru dibawa ke psikolog di umur 12 tahun, ada pula yang sudah dewasa karena kadang-kadang misdiagnosed. Kasihan, contohnya Franklin.

Banyak ibu yang enggak sadar, karena dipikir anaknya enggak ada masalah, malah berpikir bahwa dirinya yang ada sesuatu. Contoh, begitu Franklin mau lahir, enggak ada pembukaan. Sudah pecah ketuban tapi enggak ada pembukaan. Aku inginnya melahirkan secara normal, namun enggak bisa dan butuh c-section akhirnya.

Dari situ, sudah susah sebetulnya untuk ibu-ibu seperti aku ini. Setelah lahir, lebih horor lagi, karena ia sulit menyusu. Itu menantang banget. Aku sampai berpikir, “Am I a bad mom, belum mampu kasih susu?”

Waktu itu aku sampai mengalami babyblues, depresi pascamelahirkan. Karena we’re not ready, enggak ada edukasi ke arah itu. Padahal aku menguasai buku-buku psikologi tentang tumbuh kembang. Untungnya, jauh sebelum melahirkan, aku sudah bilang ke suamiku bahwa kalau aku menampilkan gejala a-b-c-d-e, berarti aku babyblues.

Soalnya, 80% ibu mengalami babyblues dan terkadang enggak menyadarinya. Jadi waktu itu suamiku yang menyadarkan, “Jangan-jangan kamu babyblues, sayang.” Mengapa bisa babyblues dan depresi setelah melahirkan? Anaknya susah menyusu, padahal sudah latihan memberikan ASI dan segala macam. Apa yang salah, ya?

Ternyata, ada anak dengan bawaan tertentu, yang secara alamiah enggak mampu mengisap ASI dari ibunya. Karena otot-otot tertentu lemah atau berbeda. Jadi anaknya frustasi, mamanya juga tertekan. Setelah itu, aku mempelajari tentang what’s wrong with my baby.

Aku pelajari buku Human Development yang setebal bantal. Kok, enggak mirip dengan buku ini? Kok di buku ini bayi bangun 2-3 jam sekali, tapi Franklin setiap jam? Aku benar-benar bingung, kenapa berbeda dengan apa yang tertulis di buku Human Development? Ini adalah buku perkembangan normal psikologi.

Jawabannya, ya karena memang ternyata ia enggak masuk buku itu. Ia masuknya di buku lain, yang abnormal development. Gimana enggak sedih? Sedih lah, patah hati. Orang-orang sekitar kemudian menganggap berlebihan dan overreacting. Waktu itu disarankan untuk tidak buru-buru terapi anak, doain saja pasti agar anaknya baik-baik saja. Haha. Aduh kesal banget, karena jadinya terlambat. Akhirnya treatment buat Franklin baru diberikan di umur 1 tahun. Padahal bisa lebih cepat lagi.

Nah, ini kalau ibunya belajar, kalau yang enggak, bagaimana? Jadi buat ibu-ibu, baik anaknya normal atau enggak, tetap cek tumbuh kembang saja biar kualitasnya optimal.

Franklin punya siklus tidur yang kacau banget, breastfeeding yang dibantu pakai botol, dan quiet. Perkembangan motoriknya juga terlalu cepat. Franklin sudah bisa jalan sendiri di umur 9 bulan, tapi jadi melewatkan tahapan lainnya. Jadi bisa jalan cepat, tapi quiet, enggak pernah ngomong. Pernah babbling, tapi sangat minim.

Babbling dan cooing itu salah tahapan yang penting. Anak tuli sekali pun akan cooing dan babbling. Nah, Franklin melakukannya, tapi kok minim, ya? Beda dengan adiknya. Di umur 9 bulan, ia bisa bilang “Enggak”. Setelah itu, diam forever. Jadinya, ia menunjuk-nunjuk, bukan bicara.

Teruntuk orang tua, jangan sampai menunggu sesuatu terjadi pada anak dulu. Enggak ada salahnya untuk melakukan pemeriksaan tumbuh kembang sejak anak lahir. Enggak cuma di dokter spesialis anak, tapi juga di bagian tumbuh kembang dengan psikiater atau psikolog khusus anak. Jadi jangan telat ya, ibu-ibu dan bapak-bapak, karena nanti tumbuh kembang anak enggak optimal.

Teruntuk orang tua, jangan sampai menunggu sesuatu terjadi pada anak dulu. Enggak ada salahnya untuk melakukan pemeriksaan tumbuh kembang sejak anak lahir.

Apa harapan Anda bagi Franklin dan Benji? 

Harapan saya, sih, seperti ibu-ibu kebanyakan, yaitu ingin anaknya tumbuh sebagai anak soleh. Soleh dalam arti kehadiran mereka di dunia punya dampak positif untuk lingkungan sekitarnya. Apa pun versinya, apa pun caranya, on their way. On their way ya, bukan in their way.

Adakah hal-hal yang Anda sesali selama menjadi orang tua? Apa pesan Anda bagi para Moms pembaca M&B?

Ada. Terutama kalau punya anak spesial. Artinya, kita akan preoccupied dengan mereka, sehingga agak abai terhadap anak yang lain. Anak yang normal dan baik baik aja, terkadang secara psiko-sosial jadinya enggak optimal karena ada penghayatan akan terabaikan atau merasa bukan prioritas.

Inilah yang saya dan suami sesali dan yang sedang kami perbaiki. Dari Benji umur 2 tahun, kami sudah melakukannya. Ternyata butuh waktu panjang untuk mengubah itu semua. Butuh sekitar 2 atau 4 tahun untuk membuat penghayatannya berubah atau berbeda. Jadi, sebagai orang tua, Moms dan Dads jangan sampai seperti saya, ya.

Intinya, lihat profil anak saat proses pengasuhan. Ada anak yang enggak butuh perhatian yang begitu banyak, sementara itu ada anak yang lahir dengan sikap yang sangat affectionate, sehingga butuh ekstra perhatian dan pengasuhan. Jangan pernah abai mencermati usia tumbuh kembang anak dan profil kepribadian mereka. Karena ternyata, enggak semua anak butuh diasuh dengan cara yang menurut kita benar.

Last but not least, mengingat Anda menekankan pentingnya pengasuhan sesuai profil anak, bagaimana sih cara mengenali karakter atau profil anak?

Orang tua, kan, yang paling tahu tentang anaknya. Artinya, ada ibu dan ayah. Ketika ibu enggak familiar dengan aspek-aspek pada anak, maka mungkin aspek tersebut lebih sesuai dengan profil keluarga ayah. Oleh karena itu, butuh ayah dan ibu dalam pengasuhan. Menurut saya begitu, ya.

Maka dari itu, keliru ketika membebankan pengasuhan hanya kepada ibu. Ayah butuh terlibat karena ada anak-anak tertentu yang cocok oleh karakter ayah, misalnya cara disiplin atau kasih sayang. Apalagi anak-anak yang istimewa atau spesial. Nah, ini butuh koordinasi dan kekompakan dari ayah dan ibu.

Yang saya tahu, malah ada ayah ibu yang berpisah karena anaknya punya gangguan tumbuh kembang. Karena hal ini tidak mudah, challenging. Tapi, ketika ayah dan ibu kompak, anak dapat benefit yang paling besar sebetulnya. Selalu semangat ya, Moms dan Dads! (M&B/Gabriela Agmassini/TW/Foto: Insan Obi/Digital Imaging: Bagus Ragamanyu Herlambang/MUA: Merlyn Meydeline (@delinesmakeup)/Lokasi: The Sultan Hotel & Residence Jakarta)