Type Keyword(s) to Search
FAMILY & LIFESTYLE

Resistansi Antimikroba Bisa Jadi Ancaman Masalah Kesehatan Global

Resistansi Antimikroba Bisa Jadi Ancaman Masalah Kesehatan Global

Follow Mother & Beyond untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow Instagram @motherandbeyond_id dan Youtube Mother & Beyond

Resistansi antimikroba (antimicrobial resistance/AMR) merupakan kemampuan mikroba bertahan hidup terhadap efek antimikroba sehingga tidak efektif dalam penggunaan klinis. Dalam pernyataan Kementerian Kesehatan yang dikutip dari website-nya, AMR saat ini bisa dikatakan sebagai pandemi senyap (silent pandemic) karena angka kematiannya cukup tinggi.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa AMR adalah salah satu dari sepuluh ancaman kesehatan masyarakat dunia, terutama di negara berkembang, dan bisa menjadi penyebab 10 juta kematian per tahunnya di seluruh dunia pada tahun 2050.

Penyebab utama resistansi antimikroba adalah penggunaan antimikroba yang tidak rasional dan berlebihan. Dampaknya, mikroba seperti bakteri atau virus menjadi kuat atau justru berkembang biak meski telah diberikan antimikroba. Bahkan penggunanya yang tidak hanya pada manusia, tetapi juga pada hewan–terutama yang digunakan untuk produksi makanan dan lingkungan–turut mempercepat terjadinya resistansi antimikroba.

Dalam acara virtual media briefing pada Selasa (29/11/2022), Ketua Pusat Resistansi Antimikroba Indonesia (PRAINDO), dr. Harry Parathon, Sp.OG (K) menjelaskan, “Resistansi antimikroba (AMR) terjadi ketika bakteri, virus, jamur, dan parasit berubah dari waktu ke waktu dan tidak lagi merespons obat-obatan sehingga membuat infeksi lebih sulit diobati dan meningkatkan risiko penyebaran penyakit hingga kematian.”

Bisa sebabkan banyak kematian

Dijelaskan oleh dr. Harry, “Salah satu area yang saat ini masih memiliki tingkat penggunaan antibiotik yang tinggi adalah perawatan luka. AMR memengaruhi prosedur manajemen luka karena luka dapat menjadi saluran infeksi, memungkinkan masuknya mikroba ke dalam jaringan. Infeksi yang disebabkan oleh bakteri resistan antibiotik lebih sulit diobati dan menyebabkan biaya pengobatan lebih tinggi, perawatan di rumah sakit lebih lama, dan meningkatkan kematian.”

“Jika tidak ditangani dengan serius, AMR bisa menyebabkan banyak kematian. Apalagi angkanya bisa lebih tinggi dibandingkan kasus COVID-19. Bahkan, bisa mengakibatkan 10 juta kematian akibat resistansi antimikroba,” tambahnya.

“Sekitar 70% bakteri penyebab infeksi pada luka resistan terhadap sedikitnya 1 jenis antibiotik yang umum digunakan. Untuk itu perawatan luka dengan teknologi terkini seperti Dialkylcarbamoyl chloride (DACC) coated wound dressings efektif mencegah AMR dan mempercepat kesembuhan luka pada pasien.”

Dalam Virtual Media Briefing bertema “Inovasi Sorbact Mencegah Resistansi Anti Mikroba (AMR) dalam Perawatan Luka” ini, Gustavo Vega, Direktur Komersial Essity Indonesia menyampaikan, “Masalah AMR perlu menjadi perhatian utama dan penting selain pandemi COVID-19. Hasil survei Global Hygiene & Health Essity tahun 2022 terhadap lebih dari 15.000 orang di 15 negara di seluruh dunia menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan masyarakat terkait bahaya AMR masih rendah.”

Joice Simanjuntak, Marketing Director Essity menjelaskan teknologi Sorbact untuk perawatan luka yang dapat mencegah AMR. “Sorbact mengikat mikroba dengan mekanisme kerja murni secara fisik sehingga mikroba menjadi tidak aktif dan mengangkatnya tanpa membunuh. Penelitian membuktikan bahwa mekanisme ini tidak mengakibatkan AMR.”

Teknologi ini dipergunakan dalam balutan luka yang terbuat dari Dialkylcarbamoyl chloride (DACC) yang bersifat hidrofobik, mengikat beberapa jenis mikroba secara permanen, dan mengurangi jumlah organisme di permukaan luka sehingga proses penyembuhan luka lebih cepat. (M&B/SW/Foto: Freepik)