Type Keyword(s) to Search
FAMILY & LIFESTYLE

Menghadapi Anggota Keluarga yang Antivaksin Menurut Psikolog

Menghadapi Anggota Keluarga yang Antivaksin Menurut Psikolog

Follow Mother & Beyond untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow Instagram @motherandbeyond_id dan Youtube Mother & Beyond

Duh, siapa sih yang tidak senewen menghadapi pandemi COVID-19 yang tak kunjung berakhir? Apalagi jika Anda juga harus bertemu dengan kaum antivaksin, pasti makin geregetan.

Di saat dunia berusaha mengakhiri pandemi COVID-19 dengan pemberian vaksin, ternyata masih banyak orang yang menolak untuk divaksin karena termakan hoaks. Ada yang meyakini bahwa vaksin merupakan cara pemerintah untuk menanam microchip di dalam tubuh, menganggap bahwa vaksin bisa mengubah DNA seseorang, hingga memercayai bahwa vaksin justru merupakan penyebab kematian.

Sering kali, orang-orang seperti ini juga ada dalam lingkungan keluarga. Selain menolak untuk divaksin, mereka juga gencar menyebarkan berita yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Lantas bagaimana cara menghadapi anggota keluarga yang antivaksin?

Validasi emosinya

Menurut psikolog Anna Surti Ariani, S.Psi, M.Si., Psikolog, pada dasarnya seseorang tidak bisa memaksa orang lain untuk divaksin. Jika memaksakan, bukan tak mungkin proses pemaksaan tersebut justru akan memperburuk hubungan dengan anggota keluarga yang antivaksin.

“Jadi jika ada anggota keluarga yang tidak mau divaksin, maka berusahalah untuk menjalin hubungan lebih dekat dengan orang tersebut. Coba buat hubungan satu sama lain nyaman. Dalam proses hubungan yang nyaman tersebut, sampaikan harapan bahwa dia perlu divaksin juga, karena itu akan melindungi dirinya, juga melindungi orang lain di dalam keluarga,” jelas Anna Surti.

“Validasi juga emosinya bahwa ia merasa takut, tidak nyaman, tidak suka dengan kebijakan, atau segala emosi negatif lainnya. Ketika ia divalidasi emosinya, ia akan merasa lebih diterima dan lebih nyaman. Pada saat ia merasa lebih nyaman, ia lebih mungkin tergerak untuk memutuskan mau divaksin. Justru ketika ia merasa bahwa keputusan vaksin berasal dari dirinya sendiri, maka ia akan lebih berkomitmen untuk divaksin,” lanjut wanita yang akrab disapa Nina itu.

Perkuat keyakinan

Ketika anggota keluarga yang antivaksin sudah merasa lebih nyaman, Anda bisa memperkuat keyakinannya tentang vaksin dengan memberikan artikel-artikel dari sumber yang kredibel.

“Ketika memberikan artikel ini, jangan dengan nada mengancam atau menyudutkan, tapi sampaikan harapan bahwa ia akan sehat dan dapat menyehatkan keluarga. Kita boleh menawarkan diri untuk menemani atau bahkan memegangi jika dia butuh rasa aman dan nyaman. Setelah dia melakukan vaksin tersebut, boleh juga ucapkan terima kasih karena ia telah berperan serta untuk menyehatkan keluarga. Dengan demikian, ia merasa dirinya berharga bagi keluarga,” kata Anna Surti.

“Apabila ia belum juga berubah pikiran walau kita telah melakukan banyak hal, janganlah memaksa. Sampaikan bahwa keluarga mendukung keputusan dia walaupun berharap. Ajak dia untuk melakukan jenis-jenis protokol kesehatan lainnya untuk memastikan diri sehat. Sesekali boleh memunculkan lagi bahasan ini, tapi jangan memaksa. Sedikit demi sedikit, jika informasi dimasukkan dengan nyaman, individu bisa mempertimbangkan, kok, dan mungkin kelak akan berubah pikiran dan perbuatan,” imbuhnya.

Hal serupa juga perlu dilakukan apabila orang tersebut kerap mengirimkan berita hoaks tentang vaksin. Anda bisa memberitahu bahwa berita tersebut adalah berita tidak benar dengan memberikan sanggahan dari sumber kredibel, misalnya situs Kominfo serta media tepercaya lainnya.

Menyerah bukan kalah

Namun harus diakui, ada kalanya anggota keluarga benar-benar keras kepala menentang kebijakan pemerintah untuk vaksin. Apa pun yang Anda perbuat, tidak akan bisa mengubah pendirian orang tersebut.

Lalu apa yang harus dilakukan? Apakah harus terus berusaha atau saatnya menyerah? Anna Surti mengingatkan bahwa pada dasarnya tingkat kesabaran satu orang dengan yang lainnya berbeda. Apabila Anda masih memiliki kesabaran, maka tak ada salahnya untuk terus berusaha meyakinkan anggota keluarga untuk mendapatkan vaksin demi kepentingan bersama.

Apabila memang Anda sudah merasa mencapai batas kesabaran, lebih baik menyerah. Tapi menyerah bukan berarti kalah, lho! Menyerah atau berhenti berusaha perlu dilakukan apabila Anda sudah merasa frustasi. Pasalnya, bersikeras kepada orang yang juga keras kepala sering kali tidak berguna. Alih-alih berhasil mengubah pendiriannya, Anda justru akan merasa kesal dan bukan tak mungkin hubungan dengan orang tersebut menjadi rusak.

“Yang disebut berhenti di sini bukan berarti berhenti total. Namun memang sesekali kita perlu berhenti untuk beristirahat. Justru kurang sehat kalau kita langsung berhenti total dan menyerah. Kita perlu sadar bahwa ada hal-hal yang tidak bisa berubah cepat, antara lain bagaimana membujuk orang yang tidak mau divaksin untuk divaksin. Jadi daripada terus memaksakan diri untuk berjuang mengubah orang lain, lebih baik sesekali ketika kita merasa lelah, kita beristirahat dulu. Baru nanti ketika sudah cukup istirahat, kita mencoba lagi,” ujar Anna Surti.

“Ada saatnya kita perlu memikirkan hal-hal yang bisa kita kontrol saja dibandingkan memaksakan diri untuk mendesak perubahan pada orang lain atau hal yang tidak bisa dikontrol. Jadi saat kita merasa lelah, maka tarik napas panjang, yakinkan diri bahwa kita sudah melakukan hal baik. Izinkan diri kita beristirahat. Pikirkan hal baik apa yang bisa kita lakukan untuk menyehatkan diri. Nanti kalau kita sudah merasa cukup nyaman kembali, boleh kok berjuang lagi,” katanya. (M&B/Wieta Rachmatia/SW/Foto: Freepik)