Follow Mother & Beyond untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow Instagram @motherandbeyond_id dan Youtube Mother & Beyond
Ketika sakit namun tidak menunjukkan gejala yang berarti, tak jarang seseorang lebih memilih untuk berisitirahat di rumah atau membeli obat termasuk antibiotik yang ada di toko obat, apotek, ataupun warung sebagai cara untuk meredakan penyakit, dibandingkan memeriksakan diri ke dokter dan mendapatkan resep obat dari dokter.
Hal ini dibenarkan oleh Prof. dr. Tri Wibawa, Ph.D, SpMK(K), Guru Besar FKKMK Universitas Gadjah Mada. Menurutnya, masyarakat sering kali membeli obat di tempat-tempat tersebut sebagai bentuk pertolongan pertama pada penyakit ringan karena letaknya yang strategis, tepercaya, dapat diperoleh pada malam hari, dan memberikan akses yang mudah kepada obat-obatan esensial seperti antibiotik.
“Tak sedikit masyarakat yang menganggap bahwa pengobatan mandiri dengan membeli obat di apotek atau toko obat lebih mudah dan hemat biaya. Hal ini jugalah yang menjadi salah satu faktor tingginya permintaan antibiotik,” ujarnya dalam acara Webinar dalam rangka peringatan World Antibiotic Awareness Week 2021 dengan tajuk: #TUNTASBERITUNTASPAKAI: Kebijakan Peresepan dan Praktik Penjualan dan Konsumsi Antibiotik di Indonesia, beberapa waktu lalu.
Belum lagi di Indonesia, antibiotik juga dipercaya sebagai obat yang manjur untuk segala jenis penyakit, mulai dari demam sampai nyeri sendi. Obat-obat ini pun cenderung mudah didapat dan sering kali dijual tanpa resep. Padahal penggunaan antibiotik yang tidak sesuai dengan rekomendasi dokter merupakan salah satu penyumbang terbesar angka resistensi antimikroba (AMR) di dunia kesehatan.
Apa itu resistensi antimikroba?
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), resistensi antimikroba (AMR) merupakan keadaan saat bakteri, virus, jamur, dan parasit mengalami perubahan seiring waktu, sehingga tidak lagi merespons obat-obatan yang dirancang untuk membunuh mikroba-mikroba tersebut. Sederhananya, bakteri di dalam tubuh tidak dapat dibunuh menggunakan antibiotik.
Implikasi dari AMR adalah sulitnya penyembuhan penyakit dan semakin tingginya biaya kesehatan. Penelitian dari European Observatory on Health Systems and Policies mengatakan bahwa rata-rata biaya perawatan yang dikeluarkan oleh pasien yang non-resistan terhadap bakteri Escherichia coli adalah sebesar 10.400 dollar AS atau sekitar 149 juta rupiah, sedangkan bagi pasien yang resistan nilainya bertambah sebanyak 6.000 dollar AS atau sekitar 86 juta rupiah, yang meliputi biaya perawatan, diagnosis, obat obatan, dan layanan pendukung lainnya.
Diketahui AMR juga menjadi salah satu dari 10 ancaman kesehatan global yang paling berbahaya di dunia. Berdasarkan data WHO, penggunaan antibiotik meningkat 91 persen secara global dan meningkat 165 persen di negara-negara berkembang pada periode 2000-2015.
Langkah mencegah resistensi antimikroba
Untuk menekan laju kasus resistensi antimikroba di Indonesia, diperlukan keterlibatan dari berbagai pihak, baik dari sektor medis, pasien atau masyarakat, dan pemerintah, demi meningkatkan pencegahan resistensi antibiotik yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan mutu kesehatan masyarakat indonesia.
Prof. dr. Agus Suwandono, MPH., Dr.PH. selaku Koordinator Indonesia One Health University Network (INDOHUN) mengatakan, dalam menangani kejadian AMR, prinsip pendekatan One Health, yakni koordinasi, komunikasi, dan kolaborasi perlu dilakukan oleh seluruh pemangku kepentingan terkait (intersektoral).
“Pemerintah Indonesia sendiri sudah menetapkan kebijakan berupa Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di rumah sakit-rumah sakit melalui Permenkes No. 8 Tahun 2015 dan juga terdapat beberapa peraturan penggunaan antibiotik di luar rumah sakit. sementara, kontribusi masyarakat dalam pencegahan dan penanganan AMR juga diperlukan, yaitu dengan menggunakan antibiotik secara bijak, rasional berdasarkan resep dokter, dan tuntas sesuai petunjuk dokter sehingga angka kesembuhan meningkat dan mencegah kejadian resistansi,” ujarnya.
Selain itu, melansir laman Pusat Perilaku dan Promosi Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada, Moms bisa mencegah terjadinya resistensi antimikroba dengan tidak mengulang konsumsi antimikroba tanpa anjuran dokter dengan membeli obat sendiri ketika sudah habis, tidak menghentikan sendiri pengobatan antimikroba yang diresepkan oleh dokter, serta menjaga kebersihan dan sering mencuci tangan. (M&B/Vonda Nabilla/SW/Foto: Mdjaff/Freepik)