Follow Mother & Beyond untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow Instagram @motherandbeyond_id dan Youtube Mother & Beyond
Setiap ibu hamil pastinya berusaha untuk menjaga agar janin yang berada dalam kandungannya selalu dalam keadaan sehat. Akan tetapi, ada beberapa kondisi yang tak terhindarkan, seperti kelainan kromosom pada janin.
Kelainan kromosom pada bayi dalam kandungan bisa terjadi tanpa disadari. Oleh sebab itu, diperlukan pemeriksaan kehamilan secara rutin agar kondisi tersebut bisa terdeteksi sejak dini.
Apabila diketahui lebih awal, maka dokter bisa mempersiapkan langkah yang tepat untuk mencegah risiko penyakit akibat masalah kelainan kromosom. Perlu diketahui, kelainan kromosom bisa menyebabkan keguguran, penyakit bawaan pada bayi, serta kondisi lain seperti masalah gametogenesis (proses pembentukan dan perkembangan sel sperma serta sel telur agar bisa membentuk janin) atau sindrom Down.
Tentang kelainan kromosom
Kromosom adalah komponen yang berisi struktur genetik di dalam sel tubuh. Normalnya, jumlah kromosom total di tubuh manusia adalah 46 dan 2 di antaranya adalah kromosom seks yang disebut kromosom X dan Y.
Salah satu kondisi yang disebabkan oleh kelainan kromosom adalah sindrom Down. Kondisi ini dapat menyebabkan penderitanya mengalami gangguan tumbuh kembang dan bentuk fisik yang berbeda dari anak normal, misalnya leher lebih pendek dan telinga lebih kecil.
Penderita sindrom Down juga lebih berisiko mengalami kelainan jantung bawaan. Selain sindrom Down, kelainan kromosom juga dapat menimbulkan berbagai penyakit lain, seperti sindrom Patau, fenilketonuria, bibir sumbing, dan sindrom Edward.
Mendeteksi kelainan kromosom
Untuk mengantisipasi adanya kelainan kromosom, Moms perlu melakukan pemeriksaan khusus. Biasanya, pemeriksaan kromosom janin dilakukan saat kehamilan memasuki usia 11-20 minggu. Sebelum menjalani pemeriksaan ini, dokter akan melakukan pemeriksaan kandungan terlebih dahulu, yaitu dengan pemeriksaan fisik dan tes penunjang, seperti USG dan tes darah.
Pemeriksaan USG bertujuan untuk mendeteksi adanya kelainan fisik, seperti spina bifida. Sedangkan tes darah dilakukan untuk mendeteksi adanya kelainan tertentu, seperti anemia sel sabit. Kedua jenis pemeriksaan tersebut juga bisa dilakukan sebagai pemeriksaan awal untuk menemukan adanya kelainan kromosom.
Jika memang ditemukan adanya potensi kelainan, maka dokter akan menyarankan ibu hamil untuk melakukan beberapa pemeriksaan lanjutan, seperti:
1. Amniosentesis
Amniosentesis adalah pemeriksaan kelainan kromosom bayi dengan pengambilan sampel cairan ketuban. Pemeriksaan ini bisa dilakukan saat usia kehamilan mencapai 15-20 minggu. Amniosentesis bisa dilakukan untuk mendeteksi berbagai jenis kelainan kromosom, seperti sindrom Turner.
Sebagai catatan, tindakan amniosentesis sebaiknya dilakukan pada trimester kedua kehamilan karena risiko menyebabkan kegugurannya masih tergolong rendah, yaitu sekitar 0,6 persen. Risiko terjadinya keguguran akan lebih tinggi jika tindakan ini dilakukan sebelum usia kehamilan mencapai 15 minggu.
2. Chorionic Villus Sampling (CVS)
CVS dilakukan dengan mengambil sampel sel chorionic villus yang identik dengan sel-sel janin, menggunakan jarum khusus. Prosedur ini dilakukan dengan bantuan USG. Biasanya, tes ini dilakukan pada awal kehamilan, yaitu minggu ke-10 hingga ke-13. Tes ini juga dapat dilakukan untuk mendeteksi adanya kelainan genetik pada janin.
Hasil CVS biasanya lebih cepat ketimbang tes lainnya. Dengan begitu, Anda memiliki lebih banyak waktu untuk membuat keputusan tentang kehamilan. Meski begitu, tindakan CVS berisiko menyebabkan keguguran apabila dilakukan pada 23 minggu pertama kehamilan. Potensi keguguran diperkirakan terjadi pada 1 dari 100 kehamilan.
3. Fetal Blood Sampling (FBS)
Tes untuk mendeteksi kelainan kromosom ini dilakukan dengan mengambil sampel darah janin langsung dari tali pusar. FBS juga dilakukan untuk memeriksa kadar oksigen dalam darah dan mendeteksi apakah janin mengalami kondisi tertentu, seperti infeksi atau anemia.
Prosedur FBS memiliki risiko keguguran paling tinggi daripada tes lainnya. Oleh sebab itu, dokter mungkin lebih menyarankan Moms untuk melakukan tes amniosentesis atau CVS, sebelum menjalani tes FBS.
Selain ketiga pemeriksaan di atas, ada juga pemeriksaan skrining yang bersifat noninvasif dan lebih aman, yaitu pemeriksaan nuchal translucency. Pemeriksaan ini tidak dapat memastikan diagnosis seperti pada pemeriksaan genetik yang telah disebutkan, tapi dapat menentukan apakan janin berisiko tinggi menderita sindrom Down atau tidak. (M&B/Wieta Rachmatia/SW/Foto: Dragana Gordic/Freepik)