Follow Mother & Beyond untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow Instagram @motherandbeyond_id dan Youtube Mother & Beyond
Pandemi COVID-19 yang terjadi lebih dari setahun ini telah memakan banyak korban dan merenggut banyak jiwa. Tidak sedikit dari mereka yang terpapar virus ini mengalami gejala berat, dirawat di rumah sakit, dan akhirnya meninggal dunia, termasuk ibu baru melahirkan atau memiliki bayi yang masih menyusu.
Akibatnya, bayi yang ditinggalkan oleh ibunya yang meninggal karena COVID-19 tidak bisa memperoleh ASI yang mereka butuhkan. Kondisi ini menggerakkan sejumlah ibu yang memiliki bayi usia menyusui untuk mendonorkan ASI mereka. Dengan begitu, bayi-bayi yang ditinggal oleh ibu mereka tetap bisa mendapatkan ASI.
Syarat untuk mendonorkan ASI
Berdasarkan protokol pemberian asupan bayi yang direkomendasikan badan kesehatan dunia (WHO), donor ASI adalah pilihan terbaik bagi bayi jika seorang ibu tidak bisa memberikan ASI secara langsung maupun ASI perah. Pilihan terakhir adalah susu formula. Walaupun begitu, masih banyak pro dan kontra terkait donor ASI, di antaranya dari masalah kesehatan dan masalah agama.
Pemerintah Indonesia sendiri, melalui Kementerian Kesehatan, telah mengatur berbagai kebijakan terkait dengan donor ASI. Ada beberapa kondisi tertentu di mana donor ASI perlu dipertimbangkan, di antaranya:
⢠Bayi mengalami gangguan kesehatan.
⢠Bayi lahir dengan kondisi ibu kandungnya meninggal dunia.
⢠Bayi harus dipisahkan dari ibu kandungnya karena alasan tertentu.
Selain itu, syarat donor ASI adalah pemberi donor harus mengikuti mutu dan keamanan ASI yang meliputi kebersihan, cara penyimpanan, pemberian, serta cara pemerahan yang benar. Pendonor juga diharuskan melalui 2 tahap penyaringan, sebagai berikut:
Penyaringan I
1. Memiliki bayi berusia kurang dari 6 bulan.
2. Sehat dan tidak mempunyai kontra indikasi menyusui.
3. Produksi ASI sudah memenuhi kebutuhan bayinya dan memutuskan untuk mendonasikan ASI karena produksi yang berlebih.
4. Tidak menerima transfusi darah atau transplantasi organ atau jaringan dalam 12 bulan terakhir sebelum memberikan ASI.
5. Tidak mengonsumsi obat, termasuk insulin, hormon tiroid, dan produk yang bisa memengaruhi ASI. Konsumsi obat atau suplemen herbal harus dinilai kompatibilitasnya.
6. Tidak ada riwayat menderita penyakit menular, seperti hepatitis, HIV, atau human T-lymphotropic virus (HTLLV).
7. Tidak memiliki pasangan seksual yang berisiko terinfeksi penyakit, seperti HIV, HTLV2, hepatitis B atau C (termasuk penderita hemofilia yang rutin menerima komponen darah), menggunakan obat ilegal, perokok, atau minum beralkohol.
Penyaringan II
1. Harus menjalani skrining, meliputi tes HIV, HTLV, sifilis, hepatitis B, hepatitis C, dan CMV (bila akan diberikan pada bayi prematur).
2. Apabila ada keraguan terhadap status pendonor, tes dapat dilakukan setiap 3 bulan.
Kisah Mona Ratuliu menjadi ibu susu
Belum lama ini, aktris Mona Ratuliu mendapat banyak pujian. Mona yang tengah menyusui anak keempatnya, Numa, memutuskan untuk menjadi ibu susu serta merawat bayi laki-laki bernama Balint. Balint sendiri merupakan anak dari kakak ipar Mona yang meninggal dunia usai melahirkan.
Dalam unggahan di akun Instagram-nya, Mona Ratuliu menyatakan bahwa sementara Balint akan tinggal di rumahnya. Hal ini dilakukan Mona agar Balint bisa mendapatkan ASI dari Mona. Sebagai ibu susu Balint, Mona ingin menjaga dan meningkatkan kesehatan bayi yang baru lahir tersebut.
Unggahan tersebut langsung dibanjiri komentar, baik dari kalangan selebriti maupun netizen, yang salut akan keputusan Mona merawat Balint yang merupakan keponakannya. Kita doakan semoga Balint tumbuh menjadi anak yang sehat dan cerdas ya, Moms. (M&B/SW/Dok. Freepik, Instagram @monaratuliu)