Type Keyword(s) to Search
ASK THE EXPERT

Trauma untuk Hamil dan Punya Anak, Mesti Bagaimana?

Trauma untuk Hamil dan Punya Anak, Mesti Bagaimana?

Follow Mother & Beyond untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow Instagram @motherandbeyond_id dan Youtube Mother & Beyond

Dijawab oleh Reynitta Poerwito, Bach. Of Psych., M.Psi.


T: Dear Reynitta, Saya dan suami telah menikah selama 3 tahun. Kami berdua juga pernah punya anak. Sayangnya, ia meninggal saat berusia 1 tahun karena sakit yang diderita. Si Kecil sakit saat ia berusia 8 bulan dan dirawat di rumah sakit. Namun, ternyata Tuhan lebih menyayanginya, dan setelah sekitar 3 bulan dirawat, ia pun pergi meninggalkan kami.

Kepergian bayi kami tentu saja membuat saya dan suami sangat bersedih. Walaupun bayi kami telah tiada sejak setahun lalu, tetap saja hal tersebut membuat saya selalu jadi sedih dan menangis bila mengingatnya. Bukan itu saja, kepergian Si Kecil juga meninggalkan trauma yang amat mendalam buat saya pribadi. Saya jadi takut hamil dan punya anak.

Hal ini pun saya rasakan jadi mengganggu hubungan saya dan suami. Ketika suami mulai mengajak bermesraan, saya seperti jadi ketakutan. Awalnya memang suami mau memahami masalah saya, tetapi sampai sekarang saya masih sulit untuk menghilangkan trauma tersebut. Bagaimana cara menghapus trauma yang saya alami ini?

J: Dear Ibu, pertama-tama saya ingin menyampaikan rasa duka yang mendalam atas kepergian buah hati Anda dan suami. Semoga Anda dan keluarga diberikan keihklasan dan kesabaran dalam menghadapi situasi ini. 

Kepergian buah hati memang bisa menjadi salah satu faktor penyebab trauma, dan salah satu akibatnya Anda memiliki ketakutan untuk hamil dan punya anak lagi. Untuk mengobati trauma memang membutuhkan proses dan waktu yang tidak sebentar.

Trauma itu berhubungan dengan emosi negatif (rasa bersalah, kesedihan, kemarahan, kebingungan, rasa tidak terima, dan lain sebagainya) yang intensitasnya cenderung tinggi. Sehingga, untuk mengatasi trauma Anda akan melewati beberapa proses terlebih dahulu.

Setelah Anda mampu untuk menerima peristiwa traumatis, Anda perlu untuk memaafkan (diri sendiri, orang lain, serta situasi) sehingga perlahan-lahan diharapkan bisa mengembalikan rasa percaya diri Anda ke depannya. Menjaga rutinitas setiap hari juga akan sangat membantu Anda untuk fokus terhadap apa yang penting untuk dilakukan saat ini, sehingga mengurangi pikiran-pikiran irasional yang bisa mengganggu fungsi keseharian Anda.

Selain itu, mengutarakan perasaan yang Anda rasakan setiap hari karena kehilangan buah hati juga bisa membantu Anda menjadi lebih lega. Jika sulit melakukan hal tersebut, Anda bisa menuliskan perasaan-perasaan Anda di buku atau sebuah kertas. Intinya, untuk menghadapi trauma, kita tidak bisa menghindari emosi yang dirasakan atau menggantikannya dengan kata-kata yang rasional seperti (harus kuat, harus bisa move on, tidak boleh bersedih lagi, dan sebagainya). Karena jika kita memendam emosi, perlahan-lahan emosi tersebut akan menjadi sebuah senjata yang bisa menyerang diri sendiri.

Dukungan suami juga merupakan salah satu faktor terpenting bagi Anda untuk bisa menjalani keseharian selama Anda masih merasakan trauma dari kehilangan buah hati. Jangan ragu untuk bercerita, berbagi perasaan dan pemikiran mengenai trauma Anda dan sampaikan kepada suami apa yang bisa dilakukan agar Anda merasa lebih baik.

Jika Anda sudah berusaha dan masih merasa kesulitan, saran saya selanjutnya adalah mencoba untuk mencari bantuan kepada seorang profesional seperti psikolog klinis maupun psikiater, untuk membantu Anda mengatasi trauma. Dengan demikian diharapkan Anda bisa mendapatkan bimbingan yang lebih memadai untuk secara perlahan terbebas dari trauma yang Anda rasakan saat ini.

Salam sehat mental,

Reynitta Poerwito

(M&B/SW/Dok. Freepik)