Follow Mother & Beyond untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow Instagram @motherandbeyond_id dan Youtube Mother & Beyond
Sejujurnya, sampai detik ini, saya masih merasa sulit untuk menulis artikel mengenai kasus pemerkosaan (bukan sekadar pelecehan) anak di TK Internasional itu. Masih sangat sulit menahan segala emosi yang bergejolak begitu memikirkan kasus itu. Apalagi kalau mulai membayangkan anak saya, Lilou. Biasanya langsung berurai air mata, dan pernah sampai sesunggukan. Saya ini tipe orang yang nonton adegan Mufasa mati di hadapan anaknya Simba di film Lion King saja (walau sudah berulang kali) pasti menangis sepenuh hati. Jadi bentuk mata saya waktu pertama kali membaca detail berita ngeri ini ; yang terasa seperti geledek di siang hari paling horor buat saya dan banyak orangtua lain; bengkaknya kayak sesudah nangis diputusin pacar. Luapan emosi yang tak bisa dibendung. Saya tahu, banyak sekali teman wanita saya sesama Moms juga merasa seperti ini. Tak heran kasus ini meledak gempar luar biasa. Insting paling purba orangtua, yang menjadi tujuan hidupnya, yaitu melindungi anak dari segala mara bahaya, terusik hingga ke inti hati.
Seperti layaknya semua yang bisa merasa, kita sebagai komunitas orangtua bersama-sama mengalami 5 Tahapan Berduka ( 5 stages of grief). Diawali dengan Menyangkal (Denial). Pertama kali teman ucapkan kepada saya, saya langsung tidak mau percaya. “Tidak mungkin ah. Masak bisa? Pengamanan luar sekolahnya saja melebihi sekuriti kedutaan negara adidaya”, bantah saya. Saya tidak mau menganggap itu fakta, karena itu akan mengubah dunia yang saya dan anak saya tinggali, menjadi dunia yang sangat menakutkan. Saya menolak untuk percaya ada hal sekeji itu terjadi, di kota tempat saya tinggal.
Setelah itu, setelah fakta menyeruak bahwa kejahatan ini memang benar-benar terjadi, kita melangkah menuju Marah (Anger). Kok bisa-bisanya terjadi? Semua mencari sasaran untuk disalahkan dan bahkan dicaci maki, ramai benar dunia sosmed dengan segala kata-kata umpatan yang ditujukan ke pihak yang dianggap bersalah. Dari yang reflektif, akusatif, bahkan fiktif, dan beberapa, primitif, semua mewakili perasaan marah masyarakat yang tak terima.
Selanjutnya kita mencoba untuk meraih kembali kontrol yang hilang dengan memasuki fase menawar dengan hidup (Bargaining). “Seandainya seleksi pegawai lebih ketat….”, “Seandainya guru menemani saat keluar kelas….”. “Seandainya si anak sempat kabur…..”. Disini kita sekaligus mencoba mencari hal-hal yang mesti diperbaiki, agar kali ini kita bisa memastikan, bahwa ini tidak akan terjadi lagi. Banyaknya link-link untuk cara-cara memperkenalkan anak pada kekerasan seksual, sekaligus Tips Berbicara pada anak, juga berbagai artikel mengenai Pentingnya Menjaga Komunikasi dengan Anak, beredar di banyak milis dan sosmed. Jaringan komunitas orangtua saling menunjukkan support sekaligus merapatkan barisan. Dan banyak diantara kita kembali memberikan penawaran pada hidup, “Saya akan lebih peka pada anak saya mulai sekarang…”.
Namun kita masih terluka. Semakin lama, semakin dalam kita masuk ke rasa Sedih (Depression). Tiap melihat di TV atau membaca beritanya, hati kita seperti tercongkel sedikit. Rasanya terluka sekali membayangkan perjuangan panjang yang harus dihadapi keluarga korban setelah ini, dimana tersangka sendiri hanya terjerat hukuman penjara berdurasi sangat tidak cukup untuk kejahatannya. Disini saya sempat mundur lagi ke Marah (Anger), dan mengungkapkan kekesalan pada pemerintah yang untuk kejahatan keji pada anak-anak ini justru membuat KUHP lemah dan tidak berefek jera. Kalau boleh jujur lagi, sampai sekarang rasa marah ini belum sepenuhnya hilang dari hati saya. Dan saya tidak tahu, kapan saya bisa melepaskan marah ini dari dada saya. Katanya Oprah sih, kita hanya bisa berhenti marah, kalau kita mau menerima kenyataan sebagai fakta yang tak bisa diubah. Terdengarnya simpel, tapi ternyata membutuhkan kekuatan yang sifatnya melebihi manusiawi. Entah kapan saya bisa Menerima (Acceptance).
Setelah merenungi perasaan sendiri, saya langsung sesak saat mencoba membayangkan, seperti apa perasaan keluarga korban. I can not even imagine the pain. Tapi terselip juga rasa kagum, dan luar biasa berterima kasih. Kagum karena mereka berani untuk maju dan bersuara, membiarkan diri mereka rentan pada eksposure media, untuk mengungkap apa yang terjadi. Dan tentunya berterimakasih dari hati yang paling dalam, karena berkat merekalah kita sebagai komunitas bisa bersama-sama berusaha agar kejadian seperti ini tidak terulang. Tentunya belajar dari peristiwa ini, kita sebagai masyarakat secara keseluruhan, harus berkomitmen untuk mewujudkan perbaikan yang harus dilakukan untuk mencegah hal ini terjadi kembali. Walaupun banyak yang bilang akan susah, karena sebenarnya kasus ini hanya ujung gunung es dari sebuah masalah yang luar biasa kompleks dan masif, bukan berarti kita tinggal diam. Ini bisa kita jadikan sebagai tanda terimakasih kita pada keluarga korban yang saat ini sedang berduka. Selain tentunya juga memberikan rasa hormat kita dalam bentuk privacy yang mereka butuhkan, rasa kekeluargaan kita dalam bentuk harapan dan doa yang kita panjatkan untuk mereka, dan rasa kebersamaan, dalam bentuk empati dan support. Let the healing process begin. (Cisca Becker/SR)