Type Keyword(s) to Search
TOODLER

Ini 5 Mitos tentang Sembelit pada Anak dan Faktanya

Ini 5 Mitos tentang Sembelit pada Anak dan Faktanya

Follow Mother & Beyond untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow Instagram @motherandbeyond_id dan Youtube Mother & Beyond

Konstipasi atau sembelit adalah gangguan pada sistem pencernaan yang menyebabkan seseorang kesulitan buang air besar (BAB) yang bisa dialami oleh siapa pun, tak terkecuali oleh Si Kecil.

Walau pun begitu, sembelit seringkali salah dimengerti, sehingga tak sedikit informasi yang kebenarannya dipertanyakan menyebar luas di masyarakat. Kali ini M&B akan membahas tentang mitos dan fakta seputar sembelit pada anak. Yuk, simak penjelasannya berikut!

Mitos #1: Obat utama adalah makanan berserat

Memang benar makanan berserat seperti sayuran dan buah dapat menjaga kesehatan sistem pencernaan. Walau begitu, mengosumsi lebih banyak makanan berserat saat sembelit tidak selalu langsung menyembuhkan sembelit.

Melansir Parents, Dr. Steven Hodges, ahli urologi anak di Wake Forest University School of Medicine dan penulis It's No Accident dan Bedwetting and Accidents Aren't Your Fault, mengatakan bahwa pola makan berserat tak serta merta menyembuhkan sembelit secara instan. "Ketika anak sembelit hingga merasakan ketidaknyamanan yang parah dan mengompol, maka pola makan penuh serat saja tidaklah cukup," tuturnya.

Anak dengan sembelit kronis perlu diobati dengan obat laksatif, dan jika ia sering mengompol maka kombinasi obat laksatif dan enema (pemberian obat melalui anus) adalah cara penanganan yang baik. Bila Moms ragu, konsultasi ke dokter merupakan langkah yang tepat.

Mitos #2: Frekuensi BAB tidak teratur adalah tanda utama

Frekuensi BAB yang tidak teratur memang salah satu tanda sembelit. Tapi, anak yang mengalami sembelit kronik sebenarnya bisa BAB setiap hari, bahkan bisa dua kali sehari, Moms. Sebabnya, perut Si Kecil tak bisa benar-benar kosong dan bersih. Oleh karena itu, ukuran dan bentuk kotoran merupakan penanda yang lebih baik.

Jika Si Kecil BAB sekali sehari atau lebih tapi kotoran terlihat kecil-kecil dan keras, maka ini bisa diartikan Si Kecil mengalami sembelit. Ukuran kotoran yang sangat besar dan keras hingga ia kesakitan saat mengejan juga menandakan sembelit pada Si Kecil.

Mitos #3: Sembelit tidak berbahaya

Moms tentu setuju bahwa sembelit termasuk masalah kesehatan yang umum dan hampir selalu tidak berbahaya. Tapi, sebenarnya sembelit bisa menjadi penyakit kronik lho, Moms. Saat hal ini terjadi, dubur Si Kecil akan menjadi sangat penuh dan membesar.

Selain tak nyaman, kondisi ini juga menekan kandung kemih sehingga bisa memicu mengompol. "Sembelit kronik juga penyebab utama infeksi saluran kemih pada anak-anak perempuan," tutur dr. Steven. Seiring dengan berjalannya waktu, otot dubur juga bisa melemah sehingga bisa menyebabkan BAB yang tidak terkontrol atau BAB di celana.

Mitos #4: Selalu dipicu oleh pola makan yang buruk

Pola makan sehat memang sangat berpengaruh pada kesehatan sistem pencernaan Si Kecil dan menjaganya dari sembelit. Tapi, banyak anak-anak yang mengalami sembelit walau telah menjalani pola makan sehat. Kok bisa? Menurut dr. Steven penyebabnya antara lain toilet training di usia kurang dari 2 tahun dan akses kamar mandi yang buruk.

Sebuah penelitian kecil yang dilakukan oleh dr. Steven menemukan bahwa anak yang melakukan toilet training sebelum berusia 2 tahun berisiko 3 kali lebih tinggi untuk mengalami masalah buang air. Ketika Si Kecil sudah cukup besar untuk bersekolah, akses kamar mandi yang buruk juga bisa memaksa Si Kecil untuk menahan buang air, yang kemudian menyebabkan masalah buang air seperti sembelit.

Mitos #5 Sembelit mudah dideteksi

Faktanya, banyak kasus sembelit tidak dapat terdeteksi, bahkan oleh dokter sekalipun. Dr. Steven mengatakan, "Saya melakukan x-ray pada pasien dengan keluhan mengompol, dan hasil x-ray menunjukkan bahwa lebih dari 90% dari mereka memiliki sembelit yang parah. Hanya 5% orang tua pasien yang menyadari hal ini."

Beberapa gejala umum sembelit pada anak antara lain sakit perut, BAB kurang dari 3 kali seminggu, rasa sakit saat BAB, ukuran kotoran yang besar dan keras, darah pada kotoran, kesulitan BAB, mengompol dan BAB di celana, serta bercak kotoran pada celana dalam Si Kecil. (Gabriela Agmassini/SW/Dok. Freepik)