Follow Mother & Beyond untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow Instagram @motherandbeyond_id dan Youtube Mother & Beyond
Hipertensi merupakan salah satu gangguan kesehatan yang paling terjadi. Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah kondisi saat tekanan darah berada di angka 130/80 mmHg atau lebih.
Kondisi ini tentu saja berbahaya bagi kesehatan Anda. Saat tekanan darah terlalu tinggi, jantung akan dipaksa memompa darah lebih keras ke seluruh tubuh sehingga bisa mengakibatkan sejumlah penyakit fatal, mulai dari gagal ginjal, stroke, dan gagal jantung.
Hipertensi bisa terjadi pada siapa saja, termasuk ibu hamil. Jumlah ibu hamil yang mengalami tekanan darah tinggi bahkan bisa mencapai angka sekitar 10 persen. Berikut adalah jenis hipertensi yang kerap terjadi pada masa kehamilan.
1. Hipertensi Gestasional
Hipertensi gestasional adalah tekanan darah tinggi yang baru muncul pada saat kehamilan. Hipertensi gestasional pada umumnya terjadi setelah usia kehamilan 20 minggu, dan bisa hilang setelah melahirkan. Pada kondisi ini, tidak ada kelebihan protein dalam urine atau tanda-tanda lain dari kerusakan organ penderitanya.
Menurut penelitian yang dilakukan University of Rochester Medical Center, kondisi ini belum diketahui secara pasti penyebabnya. Pasalnya, hipertensi gestasional bisa dialami oleh ibu yang tidak memiliki riwayat tekanan darah tinggi sebelum masa kehamilan. Akan tetapi diketahui beberapa kondisi yang mungkin memicu terjadinya hipertensi gestasional adalah:
⢠Pernah mengalami tekanan darah tinggi sebelum hamil atau pada kehamilan terdahulu
⢠Memiliki riwayat penyakit ginjal atau diabetes
⢠Berusia kurang dari 20 tahun atau lebih dari 40 tahun saat hamil
⢠Hamil anak kembar
⢠Kehamilan anak pertama.
2. Hipertensi Kronis
Hipertensi kronis adalah kondisi tekanan darah tinggi yang terjadi sejak sebelum masa kehamilan dan berlanjut ketika ibu mulai mengandung. Dalam beberapa kasus, seorang ibu tak mengetahui dirinya mengalami hipertensi kronis karena masalah ini memang terkadang tidak menunjukkan gejala khusus. Berbeda dengan hipertensi gestasional, hipertensi kronis tidak akan hilang walau ibu telah melalui proses persalinan.
3. Hipertensi Kronis dengan Superimposed Preeklampsia
Kondisi ini terjadi pada wanita dengan hipertensi kronis yang mengalami tekanan darah tinggi saat hamil, disertai dengan tingginya kadar protein dalam urine atau komplikasi terkait tekanan darah tinggi lainnya. Jika Anda menunjukkan tanda-tanda tersebut pada usia kehamilan di bawah 20 minggu, Anda mungkin memiliki hipertensi kronis dengan superimposed preeklampsia.
4. Preeklampsia
Hipertensi gestasional dan hipertensi kronis yang tidak segera ditangani dapat memicu terjadinya preeklampsia. Preeklampsia atau keracunan kehamilan adalah gangguan tekanan darah serius yang dapat mengganggu kerja organ. Biasanya kondisi ini terjadi pada usia kehamilan 20 minggu dan akan menghilang setelah ibu melahirkan bayinya.
Preeklampsia ditandai dengan tekanan darah tinggi dan proteinuria (adanya protein dalam urine). Gejala preeklampsia lainnya adalah:
⢠Pembengkakan pada wajah atau tangan
⢠Sakit kepala yang sulit hilang
⢠Nyeri pada perut bagian atas atau bahu
⢠Mual dan muntah
⢠Kesulitan bernapas
⢠Kenaikan berat badan secara tiba-tiba
⢠Terganggunya penglihatan.
Penyebab preeklampsia belum diketahui secara pasti. Namun sejumlah ahli berpendapat bahwa preeklampsia bisa disebabkan oleh gangguan pada pertumbuhan plasenta sehingga aliran darah pada plasenta tidak berjalan dengan baik.
Ada kemungkinan preeklampsia diturunkan atau faktor genetik. Anda juga berisiko kembali mengalami preeklampsia jika menderita kondisi serupa pada kehamilan sebelumnya. Preeklampsia bukan hanya berbahaya bagi ibu, melainkan juga janin. Preeklampsia juga dapat memengaruhi kesehatan organ, seperti hati, ginjal, paru-paru, mata, dan otak ibu. Preeklampsia bisa berkembang menjadi eklampsia.
5. Eklampsia
Eklampsia termasuk kondisi yang jarang terjadi. Diperkirakan hanya 1 dari 200 kasus preeklampsia yang berkembang menjadi eklampsia. Dalam kondisi ini, hipertensi yang terjadi dapat memengaruhi otak dan menyebabkan kejang atau koma dalam kehamilan. Efeknya, bayi bisa terlahir dengan berat badan rendah, memiliki masalah kesehatan, bahkan dalam beberapa kasus yang jarang terjadi, bayi terlahir dalam kondisi tak bernyawa. (Wieta Rachmatia/SW/Dok. Freepik)