Type Keyword(s) to Search
FAMILY & LIFESTYLE

Selain Hilang Empati, Ini Dampak Buruk Prank pada Anak

Selain Hilang Empati, Ini Dampak Buruk Prank pada Anak

Follow Mother & Beyond untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow Instagram @motherandbeyond_id dan Youtube Mother & Beyond

Beberapa waktu lalu, ramai berita soal seorang remaja di Bandung, Jawa Barat, yang melakukan prank sembako sampah bersama kawannya. Meski ini bukan merupakan kasus prank pertama yang mencuat ke publik, kasus prank sembako berisi sampah ini tentu tidak patut dicontoh, mengingat situasi pandemi COVID-19, di mana tak sedikit masyarakat yang mulai kesulitan memenuhi kebutuhan pangan karena terdampak pandemi ini.

Bagi orang dewasa yang melakukan prank, seharusnya mereka sudah tahu apa konsekuensi dari hal yang dilakukan dan bisa bertanggung jawab. Namun hal ini menjadi berbeda ketika anak-anak yang bisa saja ikut melakukan aksi prank karena terinspirasi dari para pelaku prank yang ia lihat dengan mudah di media sosial, misalnya, karena adanya media sosial tak dipungkiri membuat akses untuk melihat prank jadi lebih mudah.

Apa sih, sebenarnya definisi prank itu?

Menurut Luh Surini Yulia Savitri, S.Psi., M.Psi.,Psikolog, psikolog anak dan remaja dari Klinik Terpadu Fakultas Psikologi UI, Depok, secara definisi umum, prank itu seperti membuat lelucon, membuat sesuatu yang lucu yang seharusnya tidak membahayakan sasarannya. Menurutnya dengan adanya media sosial, variasi prank juga semakin beragam, mulai dari iseng namun sebenarnya berawal dari niat baik (misalnya ingin memberikan sesuatu atau hadiah pada sasarannya), hingga yang kelewat batas dan menyebabkan sebuah kecelakaan, yang membahayakan atau merugikan orang lain.

Apakah prank disebabkan oleh orang tua yang suka menjahili anak?

Sebenarnya menjahili anak sama dengan prank. Menurut psikolog yang akrab disapa Vini ini, bisa saja perbuatan ini disebabkan karena dulunya orang tua suka melakukan prank atau menjahili anaknya. Karena pada dasarnya salah satu cara belajar manusia itu dengan cara modeling atau mencontoh. "Jadi kalau misalnya ibunya jahil, lalu anaknya jahil, ya wajar," ucapnya.

Namun perlu diingat bahwa sekarang ini anak-anak tidak hanya melihat bagaimana orang tua memperlakukannya, tapi mereka juga bisa melihat dari media sosial.

Apa dampak buruk prank bagi Anak?

Bila orang dewasa sebagai pelaku prank diharapkan sudah mengetahui konsekuensi dari apa yang dilakukannya, lain bila anak-anak yang melakukan hal ini. Menurut Vivi bahaya prank bagi anak-anak di antaranya adalah:

1. Anak bisa melakukan suatu hal yang ia sendiri tidak tahu apa efeknya

Bila dilihat dari cara berpikir anak-anak, bahayanya adalah anak tidak tahu apa akibat dari yang ia lakukan, karena pemikiran anak belum sematang orang dewasa. "Misalnya anak melihat salah satu idolanya nge-prank di YouTube, bisa jadi kan yang diperlihatkan itu bukan realitas, bohongan, atau di-setting. Nah karena pemikiran anak belum matang, mereka bisa mengambil mentah-mentah, tanpa memikirkan apakah itu setting-an atau bukan," jelasnya.

Sebaliknya, anak-anak akan berpikir kalau mereka melakukan hal yang sama, maka efeknya juga sama seperti yang ia lihat di video prank. "Padahal anak tidak tahu, walau ia melakukan prank yang sama, reaksi orang itu bisa berbeda-beda," tambah Vivi.

2. Prank bisa memicu emosi negatif

Biasanya prank memicu emosi negatif. Orang yang di-prank biasanya akan tersulut emosinya. Mereka awalnya pasti akan merasa kesal, marah, tersinggung, dan emosi negatif lainnya. Menurut Vivi, dalam psikologi, memicu emosi seseorang itu harus dilakukan secara hati-hati, karena orang yang menyulut emosi tersebut harus bisa mengembalikan emosi atau suasana hati Si Korban prank kembali lagi.

"Masalahnya kan kita tidak tahu kadar yang memicu orang-orang yang di-prank itu sedalam apa. Kalau tidak bisa di-counter, efeknya mungkin tidak hari itu juga, tapi bisa kemana-mana," terangnya.

3. Rasa empati anak hilang

Menurut Vivi, secara logika, anak yang sering melakukan prank dan menyulut emosi negatif orang lain, lama kelamaan ia tidak punya rasa empati. Hal ini dikarenakan anak senang melihat orang lain menderita, atau melakukan prank semata-mata hanya demi kebahagiaan pribadi. Selain itu kebaikan, prososial, dan rasa welas asih juga tergerus.

Peran orang tua antisipasi anak melakukan prank

Untuk mengantisipasinya, menurut Vivi, orang tua harus selalu mendampingi anak, khususnya saat mereka mengakses atau menggunakan media sosial. Karena dengan cara itulah orang tua bisa memasukan value-nya pada anak.

Ketika Anda mendapati anak Anda sedang seru menonton video prank dan terhibur, Anda bisa menasihatinya dengan mengatakan "Kalau kamu melakukan hal seperti itu hati-hati ya, apalagi itu bisa membahayakan orang lain", atau "Kalau bisa kamu tidak usah melakukan hal-hal seperti itu, nak. Karena kita kan tidak tahu, orang yang kita prank marah atau sedihnya seperti apa." Lewat menasehati itulah, orang tua memiliki kesempatan untuk memberikan value-nya pada anak.

Namun kembali lagi, Vivi mengingatkan bahwa value orang tua itu berbeda-beda. Bila orang tua justru menganggap sebuah prank merupakan hal yang menyenangkan, secara tidak langsung anak juga akan belajar dari respons orang tua.

"Ketika ternyata orang tua ikut tertawa saat menonton video prank, maka anak akan berpikir bahwa itu value dari orang tua dan tidak apa-apa bila dilakukan, jadi itu terinternalisasi juga ke anak bahwa nge-prank itu boleh," tegasnya. (Vonda Nabilla/SW/Dok. Freepik)