Type Keyword(s) to Search
TOODLER

Balita Sering Menggerutkan Gigi, Ini Efek Negatifnya

Balita Sering Menggerutkan Gigi, Ini Efek Negatifnya

Follow Mother & Beyond untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow Instagram @motherandbeyond_id dan Youtube Mother & Beyond

Kriut… kriut…kriut. Moms, pernahkan Anda mendengar suatu bunyi menyerupai suara penyerut kayu keluar dari mulut Si Kecil? Bunyi apa sih itu?

Jika Anda cermati, ternyata bunyi itu bersumber dari gigi Si Kecil yang digerutkan atau yang dikenal dengan istilah bruxism. Perilaku ini bisa terjadi kapan saja. Mungkin saat ia menonton televisi, mendengar omelan Anda, atau bahkan saat sedang tidur.

Menurut Fabiola P. Setiawan, M.Psi, psikolog dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia, perilaku menggerutkan gigi akan muncul saat anak sedang tidak melakukan aktivitas motorik yang menggunakan tangan atau kaki.

Perlu diketahui, usia balita merupakan masa emas saat otak anak mulai belajar mengeksplorasi segala hal, positif maupun negatif. Salah satu perilaku negatif yang dilakukannya adalah menggerutkan gigi. Mengapa negatif?

Ya, bruxism berpotensi menjadi kebiasaan yang berdampak buruk secara psikologis maupun medis apabila tidak ditangani secepatnya. Nah, biasanya bruxism muncul ketika jumlah gigi susu Si Kecil mulai sempurna.

Namun dalam beberapa kasus, bruxism bisa muncul kala Si Kecil memasuki usia sekolah atau bahkan setelah dewasa. "Waktu seseorang mulai melakukan perilaku ini, tergantung dari faktor pemicunya," tambah Fabiola.


Penyebab Bruxism

Ada sejumlah alasan yang memicu perilaku bruxism atau menggerutkan gigi, antara lain:

1. Proses pertumbuhan gigi susu. Menurut Drg. Anastasia Dinny Setiawati, spesialis gigi dari RS William Booth, Semarang, di usia 1-2 tahun saat proses pertumbuhan gigi susu berlangsung, timbul rasa gatal pada gusi. Rasa tidak nyaman itu membuat anak cenderung mengadu gigi bagian atas dan bawah yang telah tumbuh terlebih dahulu ke arah kiri dan kanan.

2. Si Kecil memiliki masalah psikologis yang dipicu oleh adanya tekanan (stressor). Misalnya, Anda memarahi Si Kecil sehingga ia merasa tegang atau gugup, dan secara tak sadar menggerutkan giginya. Hal itu dilakukan sebagai bentuk perlawanan atau pelampiasan karena tidak tahan menghadapi ketegangan.

3. Kesulitan beradaptasi. Si Kecil membutuhkan waktu untuk beradaptasi saat memasuki lingkungan baru, misalnya sekolah. Mengenal situasi baru, termasuk teman atau guru yang baru ditemui, memang bukan perkara mudah. Ada beberapa anak yang memerlukan waktu lama untuk beradaptasi dengan sekitarnya dan saat proses tersebut berlangsung, banyak hal baru yang tidak biasa ia rasakan sehingga menimbulkan tekanan. Anak pun melampiaskan tekanan itu dengan menggerutkan giginya.

4. Menemukan kenyamanan. Kebiasaan ini bisa diawali dengan hanya eksplorasi atau sekadar iseng terhadap suatu perilaku ketika ia dalam keadaan rileks. Saat anak merasakan kenyamanan saat melakukannya, maka ia akan mengulanginya hingga menjadi sebuah kebiasaan.


Perhatikan Efeknya!

Meskipun terlihat sepele, tak berarti kebiasaan ini bisa dibiarkan. Jika berlangsung terus-menerus, maka dampak yang muncul akan semakin besar. "Dampak psikologis perilaku ini adalah mengganggu proses sosialisasi Si Kecil dengan lingkungan sekitarnya," ujar Fabiola.

Bukan tak mungkin, lingkungan sekitar merespons perilaku tersebut sebagai sesuatu yang aneh. Alhasil, anak akan sulit melakukan proses sosialisasi dan mengakrabkan diri dengan lingkungannya. Di sisi lain, Si Kecil bisa saja kehilangan kepercayaan diri karena malu akan kebiasaan buruknya itu. Jika tidak diobservasi faktor pemicunya, ia berpotensi mengalami tekanan diri yang sangat hebat sehingga cenderung membuat anak frustrasi.

Secara fisik, menggerutkan gigi tentunya bisa membuat gigi anak rusak. Gesekan antargigi akan menghilangkan bagian tidak rata atau tonjolan di sisi atas setiap gigi (cups). Cups berfungsi untuk membantu proses pengunyahan dan pemotongan makanan dalam rongga mulut Si Kecil serta memperkuat hubungan antara rahang atas dan rahang bawah (oklusi).

"Apabila cups sudah hilang dan sisi atas gigi menjadi rata, maka kemampuan mengunyah (pada gigi geraham), dan mengiris makanan (gigi taring dan seri) akan berkurang. Alhasil, makanan yang diolah dalam mulut menjadi tidak maksimal," ujar Drg. Anastasia.

Hilangnya cups juga akan melemahkan hubungan antara rahang atas dan bawah (maloklusi). Selain itu, kebiasaan ini bakal mengganggu proses perkembangan rahang yang menyangga gigi Si Kecil (Temporo Mandibula Junction), sebab gigi bagian bawah selalu ditekan oleh gigi atas.


Atasi Pemicunya!

Tidak ada cara lain untuk mengatasi kebiasaan buruk ini selain mengatasi pemicunya. Bila faktor pemicu adalah proses pertumbuhan gigi susu, Drg. Anastasia menganjurkan agar Moms memberikan media lain yang lebih aman, misalnya teether, sehingga tidak terjadi gesekan antar-gigi dan gigi Si Kecil tetap sehat.

Apabila pemicunya adalah tekanan dari lingkungan, Anda harus mengobservasi apa yang sebenarnya ia alami. Jika penyebabnya adalah lingkungan di dalam rumah, Moms perlu menginstropeksi diri dan mencari tahu apakah pola asuh Anda yang memicu perilaku bruxism pada Si Kecil.

Sementara itu, jika penyebabnya dari luar rumah seperti sekolah, Anda harus bisa bekerja sama dengan guru dan staf lainnya untuk mencari solusi agar perkembangan emosional anak bisa diperbaiki.

Anda juga bisa memakaikan ortho trainer atau semacam penutup gigi yang terbuat dari bahan karet dengan berbagai macam warna buat Si Kecil. Dengan adanya ortho trainer, anak akan kesulitan menggerutkan gigi. Alat ortho trainer bisa mulai digunakan sejak anak berusia 3 tahun.

Last but not least, jika penyebabnya adalah kenyamanan, maka atasi dengan memberikannya berbagai aktivitas positif guna mengalihkan perhatian Si Kecil dari kebiasaan menggerutkan gigi. (M&B/Wieta Rachmatia/SW/Dok. Freepik)