Follow Mother & Beyond untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow Instagram @motherandbeyond_id dan Youtube Mother & Beyond
Salah satu hiburan keluarga adalah menonton film bersama, baik di rumah maupun di bioskop. Namun saat menonton film bersama anak, Moms dan Dads sebagai orang tua tentunya dituntut untuk mengetahui terlebih dulu kategori film yang ditonton, apakah sudah sesuai dengan usia anak dan apakah film tersebut memiliki adegan yang mempertontonkan kekerasan atau hal-hal yang berbau seksual yang semestinya belum boleh ditonton oleh anak-anak.
Ambil contoh, meski kejadiannya sudah berlangsung lama, saya masih teringat pemandangan mencengangkan saat menonton film John Wick: Chapter 3 â Parabellum di sebuah bioskop di Jakarta. Meski dikategorikan film dewasa, beberapa orang tua membawa anaknya yang masih kecil untuk ikut menyaksikan film yang dibintangi Keanu Reeves tersebut.
Bagi saya, John Wick: Chapter 3 â Parabellum bukan sekadar film aksi biasa. Film ini penuh dengan adegan kekerasan yang cenderung sadis. Saya bahkan sempat menutup mata karena tak sanggup menonton beberapa adegan yang luar biasa sadis.
Yang membuat saya heran, mengapa masih ada orang tua yang membiarkan anak-anak mereka menyaksikan adegan penuh kekerasan seperti itu? Dan ini bukan pengalaman pertama saya melihat anak-anak kecil dibawa orang tuanya menyaksikan film-film yang sesungguhnya ditujukan untuk dewasa.
Adegan kekerasan berisiko menunjukkan perilaku agresif pada anak
Tahukah Moms? Membiarkan buah hati yang masih di bawah umur menonton film penuh kekerasan seperti itu bisa berakibat negatif, lho. Anda tentu sudah mengetahui, anak-anak belajar dengan cara meniru dari apa yang mereka lihat dan dengar. Dengan melihat dan mendengar adegan kekerasan yang begitu intens, maka akan timbul rasa penasaran untuk melakukan hal yang sama.
Menurut Academy of Pediatric, sudah banyak penelitian yang membuktikan bahwa anak yang sering terekspos kekerasan punya risiko lebih tinggi untuk menunjukkan perilaku agresif, punya kecenderungan bersikap kasar, serta membuat mereka beranggapan bahwa dunia adalah tempat yang mengerikan dan kejam.
Efek kekerasan dalam film akan lebih terasa jika Si Kecil berusia 3 atau 4 tahun. Di usia itu, mereka tengah mengembangkan persepsi dan ekspektasi tentang dunia serta lingkungan di sekitar mereka. Jika anak-anak tersebut terlalu sering terekspos dengan kekerasan, maka mereka akan menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang nyata.
Bukan tak mungkin, hal itu menimbulkan rasa ketakutan yang amat sangat sehingga anak akan tumbuh menjadi sosok antisosial. Sebagai catatan, sikap antisosial meliputi tidak adanya rasa penyesalan ketika melakukan kesalahan, suka berbohong, tidak sensitif, kehilangan simpati dan empati, serta gemar memanipulasi orang lain.
Bisa memicu depresi pada diri sendiri
Sementara itu, Stephanie M. Sarkis yang merupakan psikolog anak sekaligus penulis buku Gaslighting: Recognize Manipulative and Emotionally Abusive People-Break Free mengatakan bahwa ketika menonton video berkonten sadis, kita mengekspos diri sendiri untuk mengalami masalah kecemasan, depresi, stres kronis, dan insomnia. Sementara itu, orang yang mengalami PTSD (post-traumatic stress disorder) secara otomatis akan menstimulasi trauma masa lalu sehingga membuat orang tersebut bereaksi yang bakal merugikan diri sendiri dan lingkungan sekitarnya.
Sarkis juga menyebutkan bahwa terlalu sering menyaksikan video dengan konten sarat kekerasan seperti penembakan, pemukulan, pengeroyokan masal, berpotensi memicu rasa takut serta khawatir yang berlebihan.
Jennifer Ahern, PhD, dari University of California, juga memaparkan bahwa menonton video sadis dan aksi kekerasan bisa membuat seseorang selalu merasa sedang dalam kondisi yang terancam sehingga mengakibatkan sesak napas, hipertensi, dan ketakutan berlebihan.
Melihat betapa bahayanya efek Si Kecil menonton film-film penuh adegan kekerasan yang tidak sesuai dengan usianya, Moms dan Dads perlu lebih bijaksana dalam memilih hiburan baginya. Yuk, batasi tontonan buah hati Anda hanya yang sesuai dengan usianya. (Wieta Rachmatia/SW/Dok. Freepik)