Follow Mother & Beyond untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow Instagram @motherandbeyond_id dan Youtube Mother & Beyond
Rencananya hanya ingin membeli susu, popok, dan keperluan rumah tangga. Eh, tapi kok yang ada di keranjang belanja ada baju, kosmetik, dan barang-barang lain yang sebenarnya tidak diperlukan?
Mungkin Moms pernah mengalami hal seperti. Akses belanja yang semakin mudah dengan hanya sentuhan jari di layar gadget kerap membuat Anda semakin "bernafsu" membeli berbagai macam barang.
Apalagi saat ini banyak toko, termasuk online shop, yang rutin memberikan penawaran khusus atau diskon. Jadi, jangan heran jika tingkat konsumerisme masyarakat semakin hari semakin meningkat. Nah untuk mengurangi tingkat konsumerisme, maka tanggal 30 November 2019 diperingati sebagai Hari Tanpa Belanja atau Buy Nothing Day.
Berawal dari Kanada
Hari Tanpa Belanja pertama kali dicetuskan oleh seorang seniman asal Vancouver, Kanada, bernama Ted Dave, yang kemudian dipromosikan oleh majalah Adbuster Kanada pada 1993. Orang-orang yang merayakan hari tersebut tidak akan melakukan transaksi jual-beli selama 24 jam.
Pada saat bersamaan, para partisipan juga melakukan aksi kampanye yang menyerukan bahaya konsumerisme pada publik dan mengajak mereka untuk berpartisipasi. Hingga kini, Hari Tanpa Belanja telah dirayakan secara internasional di lebih dari 30 negara.
Namun di setiap negara, penentuan Hari Tanpa Belanja tidak selalu sama. Di Amerika Serikat dan Kanada, Hari Tanpa Belanja biasanya dirayakan sehari setelah perayaan Thanksgiving. Sementara itu di Indonesia, Hari Tanpa Belanja biasa diperingati pada hari Sabtu di minggu terakhir bulan November. Di negara lainnya, pemilihan hari berdasarkan waktu yang paling berpotensi bagi orang-orang untuk berbelanja.
Menekan Konsumerisme
Meski hanya satu hari, peringatan Hari Tanpa Belanja setidaknya bisa mengingatkan Moms untuk tidak memikirkan belanja, belanja, dan belanja saja. Maklum, saat ini konsumerisme seakan sudah menjadi bagian dari gaya hidup.
Seringkali, konsumerisme menempatkan barang-barang bukan pada fungsi dan manfaatnya, melainkan pada bagaimana benda-benda tersebut bisa mengubah imej seseorang, mengatrol status sosial, serta demi gengsi pemakainya.
Bukan hanya berbelanja ke mal-mal besar, masyarakat juga kini lebih mudah untuk mendapatkan barang-barang melalui online shop atau aplikasi e-commerce. Bahkan hingga akhir 2018, Indonesia masih tercatat sebagai negara yang paling sering melakukan pembelian barang secara online menurut data yang dilansir CNN Indonesia. Berdasarkan data yang dikumpulkan Global Web Index, sebanyak 86 persen pengguna internet di Indonesia melakukan belanja online menggunakan berbagai perangkat.
Sementara itu, Cina menempati posisi kedua dengan 82 persen pengguna internetnya melakukan belanja online. Jerman dan Inggris berada di tempat ketiga dan empat dengan persentase yang sama, yaitu 81 persen.
Menahan Keinginan
Moms, kebiasaan berbelanja bisa sangat berbahaya jika tidak dikontrol. Bukan tak mungkin, kebiasaan berbelanja yang berlebihan membuat Anda terlilit utang. Oleh sebab itu, yuk, kontrol kebiasaan membeli berbagai macam barang dengan cara berikut ini:
⢠Membuat daftar belanja dan berusaha untuk mengikuti daftar tersebut setiap kali Anda melakukan belanja bulanan.
⢠Menyusun anggaran belanja setiap bulannya agar bisa dipastikan berapa jumlah pemasukan dan pengeluaran.
⢠Tidak membeli barang-barang yang tak dibutuhkan.
⢠Rajin mengecek isi lemari Anda guna menghindari pembelian barang yang sama.
⢠Jangan mudah tergoda label sale. Pastikan Anda memang membutuhkan barang yang tengah diobral. Mengecek harga pasaran barang tertentu sangat disarankan karena barang berlabel sale belum tentu benar-benar harga termurah.
⢠Tidak terlalu banyak meng-install aplikasi belanja online sehingga Anda tidak terlalu sering "cuci mata" yang berujung dengan belanja barang-barang yang tidak dibutuhkan. (Wieta Rachmatia/SW/Dok. Freepik)