Type Keyword(s) to Search
TOODLER

Dua Metode untuk Mengajarkan Bahasa Asing pada Anak

Dua Metode untuk Mengajarkan Bahasa Asing pada Anak

Follow Mother & Beyond untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow Instagram @motherandbeyond_id dan Youtube Mother & Beyond

Kurang cermat saat memilih sekolah dual language atau dwibahasa seringkali dialami para orang tua masa kini. Sekolah yang memiliki metode pengajaran yang tidak tepat memang bisa berdampak kurang baik bagi perkembangan komunikasi Si Kecil. Sebenarnya, metode seperti apa yang sebaiknya diberikan pada buah hati Anda dan bagaimana agar kemampuan berbahasanya maksimal?


Program Subtractive dan Additive

Di Indonesia pada umumnya ada dua tipe metode pengajaran bahasa asing, khususnya bahasa Inggris yang dikenalkan di sekolah, yakni program subtractive dan additive. Metode subtractive adalah metode pengajaran yang semua instruksi menggunakan bahasa Inggris.

Penggunaan bahasa ibu atau bahasa pertama siswa digantikan sepenuhnya oleh bahasa Inggris. Itulah yang menyebabkan beberapa sekolah hanya mengajarkan bahasa Indonesia pada pelajaran bahasa Indonesia dan menggunakan bahasa Inggris pada semua mata pelajaran.

Sedangkan metode additive adalah metode pengajaran yang proses pembelajarannya dilakukan baik dalam bahasa pertama siswa maupun bahasa Inggris. Cara ini membuat keterampilan berbahasa akademik Si Kecil, baik bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris, berkembang dengan maksimal. Esensinya keterampilan berbahasa anak Anda ditambah. Ia bukan hanya didorong untuk menguasai bahasa Inggris dengan baik, namun juga menguatkan kemampuannya berbahasa Indonesia.


Risiko Metode Subtractive

Setiap metode ternyata memiliki dampak masing-masing. Berdasarkan riset terakreditasi di Amerika Serikat yang dilakukan Dr. David E. Freeman dan Dr. Yvone Freeman, ahli bahasa dari USA, metode subtractive ternyata bisa berisiko mengurangi atau bahkan menghilangkan keterampilan berbahasa pertama atau berbahasa ibu pada Si Kecil.

Metode pembelajaran ini ternyata juga memicu persepsi negatif siswa terhadap bahasa ibu dan tingkat penguasaan bahasa Inggrisnya berkembang namun perkembangan akademik tetap di bawah standar.

Sedangkan metode additive mempunyai efek yang baik bagi anak. Program ini membuat penguasaan bahasa Inggris siswa berkembang dengan baik, ia memiliki perspektif lebih positif pada bahasa pertamanya, serta mempunyai kemampuan mencapai tingkat akademik yang lebih baik dibanding teman-temannya yang mengikuti metode subtractive.


Tenang! Anak Tak Akan Bingung

Psikolog Dra. Mayke Tedjasaputra, M.Si dari Fakultas Psikologi UI mengatakan, usia tepat seorang anak bisa sekolah dwibahasa adalah tiga tahun. Di usia tersebut seorang anak yang tidak mempunyai gangguan perkembangan berbahasa umumnya sudah bicara dalam bahasa sosial atau bahasa sehari-hari.

Pada prinsipnya, seorang anak berbahasa dengan mendengar apa yang dibicarakan lingkungannya sehari-hari. Ketika ia telah memahami konsep berbahasa ibu dengan baik, maka akan lebih mudah baginya untuk belajar bahasa asing, termasuk bahasa Inggris.

"Dengan menguasai bahasa ibu, yaitu bahasa Indonesia, maka identitasnya sebagai bahasa Indonesia tidak akan hilang sehingga rasa nasionalisme tetap ada di dalam diri seorang anak. Bahasa Indonesia tetap harus dipelihara agar ketika ia bersosialisasi dengan lingkungan termasuk teman sebayanya di rumah, ia akan dapat berkomunikasi dengan baik. Jika kemampuan bahasa Indonesianya kurang, saya merasa kasihan karena nanti saat bercakap-cakap dengan teman-temannya, Si Kecil menjadi tidak mengerti," papar Dra. Mayke. (M&B/Tiffany/SW/Dok. Freepik)