Follow Mother & Beyond untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow Instagram @motherandbeyond_id dan Youtube Mother & Beyond
Moms, jika memiliki balita di rumah, Anda pasti sangat familiar dengan kebiasaannya yang ingin bermain dengan mainan yang sama terus-menerus, atau membaca buku yang sama setiap hari, bahkan menonton acara yang itu-itu saja, dan pakai baju yang sama. Anda mungkin sudah sangat bosan, namun tidak dengan buah hati Anda, Moms. Ia akan selalu senang. Mengapa Si Kecil begitu terobsesi dengan benda-benda ini?
Anna Surti Ariani, S.Psi., M.Si., Psikolog, psikolog anak dan keluarga dari Klinik Terpadu Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Depok, mengatakan bahwa ini merupakan hal normal yang terjadi pada anak berusia 2 tahunan. "Hanya saja, obsesi balita ini berbeda dengan gangguan obsesi pada dewasa yang jauh lebih kompleks. Sebenarnya yang dikatakan obsesi pada balita hanyalah bentuk ketertarikan terus-menerus pada suatu objek, dan hal ini normal terjadi," jelas psikolog yang akrab disapa Nina ini.
Penyebab Balita Obsesi
Obsesi pada balita umum terjadi di rentang usia 2-4 tahun. Beberapa psikolog berteori bahwa hal ini merupakan salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan akan rasa nyaman dan aman. Bagi balita, dunia di sekelilingnya selalu berubah. Walaupun hal ini sangat menyenangkan dan menantang, di sisi lain, hal ini juga bisa jadi sangat menakutkan. Sebagai reaksinya, Si Kecil akan memilih suatu objek yang bisa memberikannya rasa nyaman dan aman tersebut.
Sebagai contoh, ia akan memilih untuk memakai baju yang sama setiap hari, sangat menggemari sosok superhero tertentu, atau tak bisa lepas dari suatu benda yang menjadi kesayangannya, seperti guling atau boneka, atau bahkan Anda, misalnya.
Dari beberapa domain penting dalam tumbuh-kembang anak (kognitif, sosial, dan emosional), berikut Nina menjelaskan penyebab obsesi ini:
1. Kognitif. Jean Piaget ahli psikologi anak dari Swiss, mengatakan bahwa pada usia dini, anak-anak biasanya mengalami centration, yaitu hanya bisa memahami satu hal dan cenderung mengabaikan atau menihilkan hal-hal lain. Ia mengalami pemusatan perhatian pada sesuatu yang ia anggap menarik saja.
2. Emosional. Dari segi emosional, selama 3 tahun pertama, Si Kecil tengah mencari dan membentuk kenyamanan, salah satunya attachment dan bonding dengan orang tua. Tak hanya hubungan dengan orang tua, balita juga bisa menemukan kenyamanan dengan suatu benda, misalnya ketika ia memegang guling atau boneka kesayangan. Ia meyakini benda tersebut bisa memberikannya rasa aman.
3. Sosial. Pada usia ini, Si Kecil memang belum terlalu tertarik dengan dunia di luar dirinya sendiri, yang oleh Piaget disebut dengan egosentrisme. Namun bukan berarti Si Kecil egois, hanya saja pemahamannya masih seputar diri sendiri. Perhatiannya masih berkisar pada hal yang ia minati atau hanya seputar tubuhnya saja. Misalnya, ia belum tertarik dengan apa yang Anda kenakan hari ini, tetapi lebih memerhatikan apa yang ia sendiri kenakan.
Harus Waspada Jika...
Biasanya, ketertarikan ini masih terus berkembang sampai Si Kecil berusia 3-4 tahun, dengan catatan, orang tua harus memperluas wawasan Si Kecil atau rajin mengenalkannya pada hal-hal lain yang akan membuatnya tertarik.
Sebenarnya, tidak masalah jika Si Kecil menyukai suatu benda, namun masih mau memainkan benda lain. Yang perlu diwaspadai adalah ketika ia hanya mau bermain dengan benda yang itu-itu saja. Jika ini terjadi, ada 2 kemungkinan, yaitu pola asuh yang kurang tepat atau memang ada gangguan yang dialami Si Kecil. Berikut ini beberapa jenis gangguan yang bisa terjadi:
1. Autisme. Salah satu indikator dari autisme adalah ketertarikan terus-menerus dengan benda yang sama. Tapi ada juga gejala lain yang mengiringi, misalnya tak bisa melakukan kontak mata dan berinteraksi.
2. Obsessive Compulsive Disorder. Ini jarang terjadi pada balita. Gangguan ini biasanya tak hanya ketertarikan pada benda tertentu secara berkelanjutan, tapi ada perilaku atau kebiasaan yang mengiringinya, misalnya tak mau meninggalkan rumah jika tidak melakukan ritual tertentu secara berulang-ulang.
3. Sensory Processing Disorder. Ini merupakan kondisi di mana sinyal-sinyal sensori pada saraf tidak memberikan respons seharusnya. Contohnya, anak hanya mau memegang pasir karena ia tak nyaman jika memegang batu atau kertas. (M&B/SW/Dok. Freepik)