Type Keyword(s) to Search
FAMILY & LIFESTYLE

Hari Anak Nasional: Sudahkah Kita Penuhi 10 Hak Anak?

Hari Anak Nasional: Sudahkah Kita Penuhi 10 Hak Anak?

Tepat hari ini, 23 Juli 2019, kita merayakan Hari Anak Nasional. Moms, apakah Anda sudah mengetahui apa saja sih, 10 hal yang menjadi hak buah hati Anda?

Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku untuk anak-anak, kedewasaan dicapai lebih cepat. Berdasarkan Konvensi Hak Anak PBB yang digelar pada 20 November 1989, ada 10 hak anak yang harus terpenuhi, yaitu:

1. Hak untuk bermain

2. Hak untuk mendapatkan pendidikan

3. Hak untuk mendapatkan perlindungan

4. Hak untuk mendapatkan nama (identitas)

5. Hak untuk mendapatkan status kebangsaan

6. Hak untuk mendapatkan makanan

7. Hak untuk mendapatkan akses kesehatan

8. Hak untuk mendapatkan rekreasi

9. Hak untuk mendapatkan kesamaan

10. Hak untuk berperan dalam pembangunan

Di kota besar seperti Jakarta, kebanyakan orang tua sudah mampu memberikan kesepuluh hak tersebut kepada buah hati mereka. Lantas bagaimana dengan nasib anak-anak yang berada di kota kecil atau pedesaan? Apakah mereka sudah mendapatkan hak mereka sepenuhnya?


Masih Banyak Kasus Pernikahan Dini

Faktanya, saat ini masih banyak terdengar kabar soal minimnya fasilitas pendidikan di pelosok Indonesia. Masalah hak pendidikan juga menjadi isu utama anak-anak di penampungan korban bencana alam di Palu, Sigi, dan Donggala, Sulawesi Tengah. Bahkan dengan dalih kemiskinan dan adat, anak-anak tersebut dibiarkan menikah dini.

Berdasarkan data yang dilansir BBC News Indonesia, setidaknya terdapat 12 kasus pernikahan dini yang terjadi di kamp pengungsian gempa dan tsunami di kawasan Sulawesi tengah tersebut. Di Wombo (Donggala), Balaroa (Palu), dan Walatana (Sigi), masing-masing terdapat satu kasus pernikahan dini, sedangkan di Pantoloan (Palu) serta Jono Oge (Sigi) masing-masing ada dua kasus. Pernikahan dini terbanyak terjadi di kamp pengungsian Petobo (Palu), yaitu sebanyak 5 kasus.

"Dalam situasi seperti ini, ada beban tekanan ekonomi dan tekanan sosial. Dengan menikahkan anak artinya ada tanggung jawab yang terpindah sehingga orang tua merasa bebannya hilang sedikit," jelas Soraya Sultan, ketua Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan Sulawesi Tengah (KPKP-ST).

Selain faktor ekonomi, kehamilan di luar nikah juga menjadi alasan para orang tua untuk segera menikahkan anaknya meski usianya masih sangat belia. Menurut Soraya, proteksi orang tua di kamp pengungsian jauh berbeda jika dibandingkan saat mereka masih tinggal di rumah. Hal inilah yang menjadi salah satu pemicu seks bebas di kalangan anak-anak.

"Kalau di rumah, tingkat perlindungan orang tua lebih tinggi daripada di kamp atau hunian sementara (huntara). Tenda dan huntara berukuran kecil. Tentunya kita tidak bisa memaksa anak gadis untuk tetap tinggal di dalamnya. Siapa yang betah berada di ruangan berukuran 3 X 4,1 meter selama 24 jam," ucap Soraya.

Moms perlu tahu, usia menikah menurut hukum Indonesia adalah 21 tahun. Akan tetapi, anak perempuan bisa menikah pada usia di atas 16 tahun dan anak laki-laki di atas 19 tahun, apabila mendapat izin dari orang tua.


Dini dan Santi

Atas dasar sudah mendapat izin orang tua, Dini dan Santi yang notabene dua anak remaja yang tinggal di kamp pengungsian di Sulawasi Tengah, memutuskan untuk menikah pada usia muda. Dini mengaku telah hamil terlebih dahulu sehingga menikah pada usia 17 tahun dengan teman sebayanya, walau sang ibu sesungguhnya ingin melihat putrinya meneruskan sekolah dan mendapatkan pekerjaan yang layak.

"Kita inginnya dia nanti bekerja dan dapat uang sendiri. Namun mata pencarian kita sudah tak menentu. Sudah tinggal seperti ini, rumah tidak ada. Mau dikasih kuliah apa? Sudah tidak ada lagi mata pencarian," tutur ibunda Dini.

Kasus Santi sedikit berbeda. Santi mendapat izin menikah pada usia 14 tahun karena kepergok sering berhubungan dengan kekasihnya yang berusia 20 tahun. Perlu diketahui, Santi sudah tidak lagi bersekolah karena alasan ekonomi.


Pernikahan Dini = Merampas Hak Anak

Di Palu sepanjang 2019, setidaknya terdapat 73 kasus pernikahan anak di bawah 18 tahun. Sebanyak 28 di antaranya adalah anak laki-laki, dan 45 adalah anak perempuan. 

Kasus pernikahan anak memang kerap terjadi di Indonesia. Berdasarkan data UNICEF pada 2016, pernikahan anak paling banyak terjadi di Provinsi Sulawesi Barat (36,2%), Kalimantan Tengah (35,5%), dan Sulawesi Tengah (34,6%).

Sejatinya, pasangan yang menikah harus siap secara jasmani dan rohani sehingga pemerintah pun menerapkan peraturan batas usia. Anak-anak di usia 18 tahun sesungguhnya belum siap secara mental maupun fisik. Moms tentu tahu, kehamilan pada usia muda sangat berisiko.

Selain itu, pernikahan pada usia belia sama saja dengan merampas hak anak. Bukan hanya hak anak untuk mendapatkan pendidikan, tapi juga haknya untuk bermain serta mendapat perlindungan dari orang tuanya. (Wieta Rachmatia/SW/Dok. Freepik)