Follow Mother & Beyond untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow Instagram @motherandbeyond_id dan Youtube Mother & Beyond
Vonis penjara terhadap dr. Dewa Ayu, 38, beserta 2 rekannya menyedot perhatian masyarakat dan juga dokter-dokter setanah air. Para dokter menolak putusan Mahkamah Agung (MA) yang menghukum mereka dengan hukuman pidana. Menteri Kesehatan RI, dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH, juga telah mengirimkan surat protes terhadap hukuman tersebut dengan sejumlah alasan.
Berdasarkan hasil runut peristiwa yang dilakukan Kemenkes, ketiga dokter tersebut sudah menjalani prosedur yang sesuai dengan standar. Kasus dokter Ayu dan rekannya disebabkan oleh meninggalnya Julia Fransiska Maketey, pasca-operasi Caesar di Rumah Sakit R.D. Kandou Malalayang, Manado, Sulawesi Utara, pada 10 April 2010. Dokter Ayu dan pihak rumah sakit mengklaim operasi Caesar telah disetujui oleh pihak keluarga Julia dengan penandatanganan ketentuan dari pihak RS.
Selang beberapa waktu pasca-kematian Julia, keluarganya menggugat ketiga dokter tersebut ke pengadilan negeri. Pihak keluarga menyebutkan bahwa mereka tidak mengetahui tindakan Caesar yang dilakukan oleh Sang Dokter. Hasilnya, Ayu dan kedua rekannya dinyatakan tidak bersalah. Namun, di tingkat kasasi, ketiga dokter itu divonis 10 bulan penjara.
Dokter dan Masyarakat Wajib Prihatin
Nafsiah mengaku prihatin atas hukuman yang diberlakukan kepada ketiga dokter tersebut. Seharusnya, MA tidak memutuskan hukuman pidana kepada ketiganya, melainkan hukuman perdata.
“Kalau semua kasus dokter menyebabkan kematian, lalu dipidana, maka tidak ada seorang pun yang akan mau jadi dokter di Indonesia. Sementara dokter di Indonesia masih sangat kurang dan dibutuhkan oleh masyarakat di pedalaman. Biasanya dokter dihukum perdata kalau mereka melakukan kesalahan prosedur, seperti teguran hingga pencabutan izin praktik dan titel kedokterannya,” ungkap Nafsiah saat ditemui dalam konferensi pers Hari HIV/AIDS Sedunia pekan lalu.
Nafsiah juga menilai, kemungkinan ada salah pengertian di dalam kasus ini. Diduga, bahasa daerah adalah penyebab utamanya. Terlebih lagi, kematian pasien disebabkan oleh emboli air ketuban. Emboli adalah suatu kondisi saat cairan amnion, sel fetal, ataupun debris dari fetus masuk ke sirkulasi darah ibu melalui plasenta, sehingga mengakibatkan gagal jantung dan gangguan pembuluh darah.
“Surat yang kami buat ke MA memang belum ditanggapi secara formal, tetapi kasus ini tetap akan kami pantau. Ini penting demi menjaga nama baik kalangan kedokteran di Indonesia, juga masyarakat kita yang tetap memerlukan tenaga dokter sebagai sumber pengetahuan kesehatan,” tegas Nafsiah. (Gita/DMO/Dok. Freedigitalphotos)