Follow Mother & Beyond untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow Instagram @motherandbeyond_id dan Youtube Mother & Beyond
Peran bidan sebagai garda terdepan dalam meningkatkan kualitas kesehatan ibu dan anak di berbagai wilayah di Indonesia memang tidak bisa dipandang sebelah mata. Mereka pun kini dituntut agar dapat mengembangkan kemampuan social entrepreneurship— kemampuan memecahkan masalah sosial. Todd Callahan, Direktur DKT Indonesia, mengatakan bahwa kemampuan tersebut diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitar tempat bidan bertugas.
“Bidan di Indonesia merupakan para wanita yang andal. Mereka adalah ujung tombak program kesejahteraan dalam keluarga. Social entrepreneur berfungsi meningkatkan kesejahteraan warga sekitar, sehingga berkontribusi positif terhadap kesehatan ibu dan anak,” ungkap Todd dalam acara bertajuk "Mengembangkan Kemampuan Social Entrepreneurship Bidan Lewat Program Akademi Bidan".
Program pengembangan bidan desa sempat tersendat beberapa waktu lalu pasca-reformasi, namun kini program ini kembali digiatkan. Meskipun para bidan dan kader sudah berusaha keras untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesehatan ibu-anak, namun hal itu dianggap tidak efektif menurunkan angka kematian ibu dan anak. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 melaporkan, angka kematian ibu (AKI) sebanyak 359 tiap 100.000 kelahiran hidup. Angka itu meningkat dibanding 2007, yaitu 220 tiap 100.000 kelahiran hidup.
Ketua Pengurus Pusat Ikatan Bidan Indonesia (PP IBI), dr. Emi Nurjasmi, M.Kes., mengungkapkan bahwa tingginya AKI di Indonesia menjadi tantangan para bidan dan lembaga-lembaga kesehatan lainnya. Ia pun mengakui bahwa pemerintah dan elemen masyarakat lainnya akan kesulitan menembus target millenium development goals (MDG's) 2015, yaitu 102 tiap 100.000 kelahiran hidup. Sebenarnya, apa yang membuat hal itu sulit ditembus?
Emi menilai, banyak hal-hal yang membuat persalinan menjadi 'pencabut' nyawa para ibu yang baru saja melahirkan. “Ada banyak keterlambatan, seperti bumil yang jarang/tidak memeriksakan kehamilannya ke tenaga medis, keterlambatan penanganan pihak medis, hingga keterlambatan dalam pengambilan keputusan yang biasanya dilakukan oleh keluarga. Masa ibu mau melahirkan harus menunggu semua keluarga setuju? Ya itulah, yang membuat besarnya AKI,” ungkap Emi. Belum lagi, sarana dan pra-sarana kesehatan dan pendidikan yang dianggap belum cukup memadai. Hal itu dianggap Emi juga mempersulit pencapaian MDG's 2015.
“Kami para bidan sudah berupaya kuat untuk mengurangi angka tersebut. Peningkatan jumlah bidan pun terus digiatkan, tetapi itu bukan perkara mudah. Yang penting kami tetap berusaha, melakukan penyuluhan dan peningkatan kualitas bidan. Semoga target itu berhasil didukung dengan partisipasi masyarakat. Bidan adalah profesi yang membutuhkan kesabaran dan ketelitian. Wanita-wanita yang tangguh, untuk wanita dan untuk masalah-masalah wanita,” tutup Emi. (Gita/DMO/Dok. M&B)