Follow Mother & Beyond untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow Instagram @motherandbeyond_id dan Youtube Mother & Beyond
Moms, pernahkah Anda mendapatkan komentar-komentar mengenai gaya pengasuhan anak dari teman, tetangga, atau kerabat Anda? Komentarnya bisa bermacam-macam, misalnya, "Gendong anaknya kok seperti itu? Nanti lehernya bisa cedera.", "Ya ampun, anak kamu dikasih sufor. Kenapa enggak dikasih ASI aja sih?", atau "Kamu melahirkan caesar? Memangnya enggak bisa lahiran normal?", hingga bahkan "Sudah kerja lagi? Apa enggak kasihan sama anaknya yang masih kecil?"
Jika Anda pernah mengalami hal seperti itu, Anda tidak sendirian, Moms. Banyak ibu muda yang mendapatkan komentar atau kritik dari orang lain mengenai caranya dalam mengasuh dan membesarkan anak. Bagi orang yang memberikan komentar atau kritik, hal tersebut mungkin biasa saja. Namun, hal ini bisa berdampak buruk pada ibu yang dikomentari atau dikritik.
Padahal faktanya, mereka yang memberikan komentar atau kritik belum tentu mengerti dengan kondisi anak kita. Mereka juga tak memahami apa kelebihan dan kekurangan anak kita. Inilah yang disebut mom-shaming, perilaku mengkritik pola asuh yang dilakukan ibu lain dengan membandingkan dengan dirinya, seolah-olah ia menjadi ibu yang lebih baik, lebih tahu, dan lebih sempurna.
Berikut ini fakta-fakta mengenai mom-shaming:
1. Aplikasi mom.life mengungkapkan bahwa 79% wanita pernah mengalami mom-shaming dari ibu lain. Korbannya tidak terbatas pada ibu muda yang umumnya baru mempunyai satu anak, tapi juga ibu yang telah mempunyai beberapa anak.
2. Berdasarkan penelitian C.S. Mott Children's Hospital University of Michigan, AS, pelaku mom-shaming adalah ayah atau ibu kandung (37%), suami (36%), mertua (31%), dan teman (14%). Jadi bisa disimpulkan bahwa pelaku mom-shaming kebanyakan berasal dari keluarga sendiri, sisanya berasal dari teman, tetangga, atau bahkan orang lain yang sama sekali tidak memiliki hubungan dengan kita.
3. Hal yang menjadi sumber dalam mom-shaming sebagian besar adalah seputar disiplin anak (70%), diikuti nutrisi makanan anak, kebiasaan tidur, menyusui versus botol susu, keamanan anak, dan perawatan anak. Fakta lainnya, sebanyak 23 persen ibu mengaku menghadapi mom-shaming lebih dari tiga sumber.
4. Menurut Stephanie Barnhart, pendiri Socialminded Media Group dan editor Mommy Nearest, New York, AS, beberapa faktor yang membuat seorang ibu menjadi pelaku mom-shaming, antara lain adalah merasa bosan, marah, cemburu, repot, terlalu letih, kehilangan jati diri, dan haus pengakuan.
5. Richard A. Honaker, MD, FAAFP, seorang dokter dari Virginia, AS, menyatakan bahwa mom-shaming bisa menimbulkan reaksi kimia yang abnormal dalam otak. Hasilnya, kita menjadi tidak percaya diri hingga depresi. Mom-shaming juga dapat merusak kondisi psikologis ibu. Terlebih jika sasarannya ibu muda yang belum berpengalaman memiliki anak sebelumnya karena #IbuJugaManusia.
Karena dampak yang bisa ditimbulkan, budaya mom-shaming harus dihentikan serta #StopMomShaming dan #NoMoreMomsWar. Jika Moms pernah mendapat komentar atau kritikan, ubah pola pikir menjadi positif, dan tidak usah pedulikan ucapan orang lain tersebut, sebab yang paling tahu mengenai tumbuh kembang dan kebutuhan Si Kecil adalah Anda sendiri sebagai ibunya, sehingga Anda pasti tahu yang terbaik untuk anak Anda.
Untuk mengatasi hal tersebut, Anda juga bisa terus belajar tentang ilmu parenting dari berbagai sumber maupun ikut seminar sebagai upaya untuk menambah ilmu dan wawasan Anda ya, Moms. (M&B/SW/Dok. Freepik)