Follow Mother & Beyond untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow Instagram @motherandbeyond_id dan Youtube Mother & Beyond
Pada usia prasekolah, balita mengalami perkembangan psikis menjadi lebih mandiri, autonom, dapat berinteraksi dengan lingkungannya, serta lebih mengekspresikan emosinya. Bentuk luapan emosi yang biasa terjadi adalah menangis atau menjerit saat Si Kecil merasa tidak nyaman. Sifat perkembangan yang terbentuk ini ternyata dapat memengaruhi pola makan anak.
Hal tersebut menyebabkan anak terkadang bersikap terlalu pemilih, misalnya cenderung menyukai makanan ringan, sehingga menjadi kenyang dan menolak makan saat waktu jam makan. Anak juga sering rewel dan memilih bermain saat orang tua menyuapi makanan. Anak akan mengalami kesulitan makan jika tidak segera diatasi. Proses pembelajaran makan yang baik sangat penting bagi anak di fase usia prasekolah agar ia tumbuh sehat dan cerdas.
Penelitian yang dilakukan Sudibyo Supardi, peneliti di National Institute of Health Research and Development, terhadap anak prasekolah di Jakarta tahun 2015, menunjukkan hasil prevalensi kesulitan makan sebesar 33,6%. Adapun 44,5% di antaranya menderita malnutrisi ringan sampai sedang dan 79,2 % dari subjek penelitian telah mengalami kesulitan makan lebih dari 3 bulan. Kelompok usia terbanyak mengalami kesulitan makan adalah usia 1 sampai 5 tahun (58%). Sebanyak 43% anak yang mengalami kesulitan makan mengalami gizi buruk.
Kebanyakan kasus sulit makan berupa menghabiskan makanan kurang dari sepertiga porsi (27,5%), menolak makan (24,8%), anak rewel dan merasa tidak senang atau marah (22,9%), hanya menyukai satu jenis makanan (7,3%), hanya mau minum susu (18,3%), memerlukan waktu lebih dari 1 jam untuk makan (19,3%), dan mengemut (15,6%). Adapun sebanyak 50% anak yang mengalami susah makan memiliki keluhan gangguan kenaikan berat badan, 22% rewel, 12% nyeri epigastrium, 10% back arching, dan 6% nyeri menelan serta sering muntah.
Gizi Buruk Akibat Picky Eater
Kondisi anak pilih-pilih makanan seperti itu dikenal dengan istilah picky eater. Ini bisa menjadi gejala yang merugikan kesehatan anak apabila tidak segera diatasi dan bisa membuat anak kekurangan asupan gizi yang selanjutnya menyebabkan anak mengalami gizi buruk.
Di Indonesia, pada tahun 2012, terdapat sekitar 53% anak di bawah usia 5 tahun menderita gizi buruk yang disebabkan oleh kurangnya makanan untuk mencukupi kebutuhan gizi sehari-hari. Kondisi ini menyebabkan banyak anak Indonesia mengalami stunting.
Stunting merupakan kondisi gagal pertumbuhan pada anak (pertumbuhan tubuh dan otak) akibat kekurangan gizi dalam waktu yang lama. Sehingga, anak lebih pendek dari anak normal seusianya dan memiliki keterlambatan dalam berpikir. Pemantauan Status Gizi (PSG) 2017 menunjukkan prevalensi balita stunting di Indonesia masih tinggi, yakni 29,6% di atas batasan yang ditetapkan WHO (20%).
Menurut Prof. Dr. Rini Sekartini, Sp.A, picky eater merupakan gangguan perilaku makan pada anak yang berhubungan dengan perkembangan psikologis tumbuh kembangnya dan ditandai dengan keengganan anak mencoba jenis makanan baru (neofobia), pembatasan terhadap jenis makanan tertentu terutama sayur dan buah, dan secara ekstrem tidak tertarik terhadap makanan dengan berbagai cara yang dilakukan, yaitu menampik makanan yang tidak dia sukai, mengemut makanan, dan menutup mulut dengan rapat pada saat menghadapi makanan yang tidak dia sukai.
Susu Bukan Solusi
Picky eater ditandai dengan pertumbuhan tubuh terhenti, perubahan perilaku, lesu, kehilangan selera makan, dan kekurangan berat badan. Kondisi ini bisa mengganggu kesehatan anak. Namun sayangnya, banyak orang tua yang salah kaprah menyiasati picky eater dengan memberikan susu sebagai solusi. Padahal, susu sebetulnya hanya sebagai pelengkap.
Prof. Rini menjelaskan, susu merupakan salah satu asupan makanan untuk anak pada masa bayi, terutama 6 bulan pertama ASI merupakan makanan utama bayi. "Setelah 6 bulan, ditambahkan Makanan Pendamping ASI sebagai pelengkap karena kebutuhan anak meningkat. Setelah 1 tahun anak dapat diberikan makanan keluarga, berupa nasi lauk pauk, sayur dan buah plus susu sebagai pelengkap," tuturnya.
Perlu diketahui bahwa susu memang kaya gizi, tapi kandungan zat besi di dalamnya biasanya kurang optimal. Dalam 1.000 cc susu hanya terkandung 0,5-2 mg zat besi. Sedangkan bayi 1 tahun saja butuh 6 g zat besi setiap hari.
Itulah mengapa sebaiknya orang tua tidak hanya mengandalkan susu untuk memenuhi kecukupan gizi anak. Berikan makanan seimbang yang kaya nutrisi, termasuk kecukupan zat besi di setiap usia. "Pada usia balita kebutuhan susu sekitar 500-600 cc per hari. Selebihnya, anak harus makan. Jadi, susu tidak dapat menggantikan makanan yg harus dikonsumsi anak," tegas Prof. Rini.
Prof. Rini melanjutkan, biasanya kondisi picky eater disebabkan kurangnya variasi makanan anak, anak tidak boleh memilih makanan yang disukai, suasana di rumah tidak menyenangkan, kurang perhatian orang tua, atau contoh yang kurang baik dari orang tua.
Psikolog anak Tari Sanjojo menyarankan orang tua untuk tidak panik menghadapi gejala picky eater, namun juga tidak boleh menganggap sepele. Picky eater bila tidak diatasi dengan tepat dapat menyebabkan anak menjadi malas makan dan pada kelanjutannya menyebabkan anak menjadi cepat lesu, tidak bersemangat, kurang konsentrasi, bahkan sakit. Kondisi ini sangat mengganggu aktivitas fisik anak. Seharusnya anak bersemangat mengeksplorasi banyak hal agar tumbuh sehat dan cerdas. Picky eater juga bisa menyebabkan anak terasingkan dari pergaulannya karena ia pilih-pilih makan. (Susanto Wibowo/Dok. Freepik)
- Tag:
- Balita
- Picky Eater
- Stunting