Follow Mother & Beyond untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow Instagram @motherandbeyond_id dan Youtube Mother & Beyond
Menurut sebuah studi terbaru, stres dan kemiskinan yang dialami selama masa kanak-kanak ternyata bisa berdampak negatif pada kemampuannya mengatur emosi di masa dewasa. Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Proceeding of National Academy of Sciences tersebut menunjukkan bahwa anak-anak yang dibesarkan dalam kemiskinan lebih mungkin mengalami masalah emosional di masa dewasa nanti.
"Temuan kami menunjukkan bahwa beban stres pada anak yang hidup dalam kemiskinan memengaruhi seberapa baik otaknya bekerja saat dewasa," ungkap peneliti Dr. K. Luan Phan, profesor psikiatri di University of Illinois di Chicago College of Medicine, seperti dilansir sumber Daily Mail.
Sebanyak 49 orang dilibatkan dalam penelitian tersebut, dan sekitar setengah dari mereka berasal dari keluarga berpenghasilan rendah. Para peneliti mencatat status kemiskinan dan mengikuti perkembangan mereka dari usia 9 sampai 24 tahun. Para peneliti ini juga mencatat interaksi anak dengan orangtua mereka, respon stres, dan risiko terhadap stressor (pemicu stres) mereka.
Pada usia 24 tahun, para peserta menjalani pencitraan otak saat menyelesaikan tugas di mana mereka harus mencoba untuk mengendalikan diri dari emosi negatif. Peneliti menemukan bahwa, anak yang memiliki masa kanak-kanak dalam lingkungan keluarga berpendapatan rendah memiliki aktivitas amigdala (bagian otak yang terlibat dalam reaksi ketakutan dan emosi negatif) yang lebih tinggi, dan aktivitas korteks prefrontal (bagian otak yang terlibat dalam proses pengendalian emosi negatif) yang lebih rendah.
Hasilnya, para peserta yang diteliti pada usia 9,13, dan 17 tahun tersebut, lebih mengalami stres saat tumbuh dewasa. Hubungan antara aktivitas otak dan status kemiskinan anak tersebut semakin kuat. Temuan ini sangat penting, mengingat dalam sumber disebutkan bahwa 1 dari 5anak hidup di bawah tingkat kemiskinan pada 2011.
Sementara, pada 2008 sebuah studi menunjukkan bahwa anak usia 9 dan 10 tahun yang berasal dari keluarga berpenghasilan rendah memiliki fungsi otak korteks prefrontal yang lebih buruk dibanding anak-anak dengan status sosial yang lebih tinggi. (Aulia/courtesy foto: Daily Mail)