BABY

Diagnosis Autisme Sejak Dini dengan EEG Sederhana


Follow Mother & Beyond untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow Instagram @motherandbeyond_id dan Youtube Mother & Beyond


Sebuah penelitian terbaru dari Boston Children’s Hospital dan Boston University menghasilkan metode diagnosis autisme dini. Alat yang digunakan dalam studi tersebut adalah elektroensefalogram (EEG).

Alat EEG ini digunakan untuk mengukur aktivitas otak bayi. Dengan begitu, akan terprediksi perkembangan otak bayi jika terkena gangguan spektrum autisme (autism spectrum disorder atau ASD) dan dapat dilakukan saat bayi berusia tiga bulan. Sebelumnya, University of North Carolina telah mengungkapkan bahwa cara akurat dalam memprediksi ASD dengan menggunakan pemindaian fMRI (Functional Magnetic Resonance Imaging). Cara tersebut bisa diterapkan pada bayi usia enam bulan.

Namun, fMRI membutuhkan biaya cukup mahal serta memakan waktu dan sulit dilakukan pada bayi yang masih banyak bergerak. Hal ini yang membuat para peneliti dari Boston ini mencari cara lain untuk mendiagnosa ASD menggunakan alat yang sering digunakan untuk melihat perkembangan anak. “EEG hanya memerlukan biaya yang rendah, non-invasif, dan relatif mudah dilakukan untuk memeriksa bayi,” jelas Charles Nelson, rekan penulis pada studi tersebut.

Proyek penelitian ini dilakukan dengan mengukur 188 bayi menggunakan EEG. Mereka terdiri dari usia 3, 6, 9, 12, 18, 24, dan 36 bulan. Hasilnya, lebih dari setengah bayi dianggap berisiko tinggi terkena ASD (faktor genetik dari kakaknya). Sedangkan 89 bayi lainnya memiliki risiko lebih rendah.

Algoritma komputer sebagai media peneliti juga dikembangkan untuk dapat menganalisis secara mendalam. Terdapat enam komponen gelombang yang berbeda dari pengukuran EEG dan didapatkan hasil yang lebih menakjubkan dari sebelumnya.

“Akurasi prediksi kami pada bayi usia sembilan bulan hampir 100 persen. Kami juga mampu memprediksi tingkat keparahan ASD, seperti yang ditunjukkan oleh Skor Keparahan Kalibrasi ADOS, dengan kapabilitas yang cukup tinggi, juga pada usia sembilan bulan,” ungkap William Bosl dari Program Informatika Kesehatan Komputasi (CHIP) di Boston Children's.

Tim peneliti pun mengungkapkan bahwa faktor genetik mempengaruhi seorang anak terkena ASD. “Risiko gangguan ini bisa meningkat selain karena genetik, juga karena faktor lingkungan. Namun hal ini belum sepenuhnya benar karena empat dari lima ‘saudara kandung bayi’ tidak mengidap autisme,” tambah Nelson.

Hasil dari penelitian ini diharapkan bisa mempermudah dokter anak lain dalam mendiagnosis autisme pada bayi sedini mungkin karena dengan EEG sederhana saja sudah mampu memantau pertumbuhan otak dan memungkinkan intervensi dini dalam kasus diagnosis autisme potensial. (Vonia Lucky/SW/Dok. New Atlas; Katherine C. Cohen)