FAMILY & LIFESTYLE

Mau Ajukan Resign? Pertimbangkan Ini Dulu ya, Moms


Follow Mother & Beyond untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow Instagram @motherandbeyond_id dan Youtube Mother & Beyond


Dijawab oleh Tara Adhisti de Thours, BA, M. Psi, psikolog klinis dari Sanatorium Dharmawangsa

PERTANYAAN:

Halo. Saya Riana, ibu dari dua anak. Saya seorang karyawan swasta, dan sedang memikirkan untuk resign. Karena saya merasa sudah tidak kuat lagi dengan pekerjaan. Tapi, saya ingin mendapatkan masukan: apa sih pertimbangan orang sudah perlu resign? Saya ingin keputusan yang saya ambil benar.

JAWABAN:

Halo Mom Riana! Jadi Anda mau resign, ya. Pertanyaan awal saya, Anda mauresign untuk pindah kantor lagi atau mau jadi ibu penuh waktu?

Kalau yang pertama, harus melihat jenis pekerjaannya. Apakah Anda pekerjaan sekarang terlalu berat atau memang Anda sudah kesulitan sejak awal? Anda harus memang meyakini dulu bisa menyelesaikan pekerjaannya. Kalau setiap mendapat pekerjaan rasanya stressfull, dan sekalipun baru buka laptop. Kalau kaya gitu, skill Anda harus ditingkatkann. Karena itu indikasi kompetensi Anda belum berkompeten dengan pekerjaan tersebut.

Namun, kalau memang pekerjaan yang dipegang terasa makin berat hingga terlalu berat untuk dipegang sebagai seorang ibu, dan sudah coba bertahan, namun ternyata masih capek dan bahkan jatuh sakit, maka Anda sudah boleh mempertimbangkan untuk pindah kerja.

Sementara kalau mau resign agar jadi ibu penuh waktu, Anda juga perlu memikirkannya lagi dengan matang. Sebab, berhenti kerja untuk menjadi seorang full time mom, adalah keputusan yang besar. Karena banyak para ibu jadi karyawan untuk membantu finansial suami, entah untuk sekolah anak, bayar cicilan rumah, mobil atau kebutuhan harian.

Jadi, pikirkan dulu: kalau saya berhenti bekerja, apa bayaran sekolah anak dan kebutuhan makan bulanan sudah terpenuhi? Singkat kata, Anda harus pakai logika saat memutuskan, meski dalam memutuskan turut melibatkan perasaan. Tapi, jangan dibayangkan melibatkan perasaan itu emosi lho ya. Berbeda itu.

Contohnya begini, "Saya memutuskan tetap berkerja di sini karena saya sudah menghargai orang yang sudah mengajak saya kerja di sini." Itu logika dengan melibatkan perasaan.

Kalo keputusan karena emosi itu menggebu-gebu, seperti "Bekerja di kantor ini ternyata tidak menyenangkan, saya juga tidak bahagia. Buat apa kerja di sini!" Nah yang itulah emosi menggebu-gebu. Jangan biarkan emosi mendominasi pemikiran Anda, saat memutuskan sesuatu yang penting.

Dalam memutuskan hal besar, rasio akal harus lebih besar dibandingkan emosi. Research dulu pro dan kontraknya. Carilah kelebihan atau keuntungan dari setiap keputusan yang hendak ingin ambil. Kalau memang sudah tahu plus-nya 'di mana', di sanalah keputusan Anda harus Anda pilih.

Selamat memutuskan ya, Mom Riana. (Qalbinur Nawawi/Dok. Freepik)