Follow Mother & Beyond untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow Instagram @motherandbeyond_id dan Youtube Mother & Beyond
Belakangan, kata pelakor atau 'perebut laki orang' menjadi familiar di telinga masyarakat. Hal itu terjadi karena kita dipertontonkan berbagai drama perselingkuhan, baik para artis atau publik figur.
Melihat fenomena itu, kita pun dibuat kesal dan jengkel. Sebab, semua wanita pasti berharap pernikahan yang dijalani bisa bertahan sampai maut memisahkan.
Tapi – disadari atau tidak – banyak kasus perselingkuhan yang kita di lihat di sosial media, cenderung menyalahkan pihak perempuan. Mereka dihujat habis-habisan oleh warganet. Cek saja kolom komentar akun Instagram salah satu pelakor yang Anda tahu. Sementara si pria relatif sepi dari hujatan. Padahal, bukankah perselingkuhan merupakan hasil hubungan kedua belah pihak?
Dalam kasus perselingkuhan, kita tidak bisa menyalahkan satu pihak saja. Karena perselingkuhan butuh komitmen kedua belah pihak. Karena dalam hukum interaksi terdapat istilah 'ada aksi, ada reaksi' kan, Moms? Perselingkuhan tidak bakal terjadi kalau tidak orang ada yang mulai cari perhatian dan menerima perhatian. Setuju?
Komitmen kedua belah pihak itu pun berlaku kalau ingin hubungan bertahan. MenurutDoktor Jim Walkup, konselor pernikahan dan penulis bukuA Marriage Counselor's Secret To Making Your Marriage Sizzle, pasangan yang biasanya bisa meneruskan hubungannya setelah perselingkuhan atau berhasil menghindari perselingkuhan ialah mereka yang menyadari, mereka bisa kehilangan sesuatu yang amat berharga. Para pasangan sadar betul bahwa pernikahan bukan sesuatu yang abadi dan bisa berakhir kapan saja bila tidak dijaga dengan baik
Dengan kata lain, Anda juga bisa menyimpulkan bahwa perselingkuhan bisa muncul karena kemauan kedua belah pihak. Jadi yang perlu disalahkan – bila Anda setuju dengan penjelasan diatas – ialah kedua belah pihak.
Adapun kondisi itu tak terlepas karena faktor kontruksi sosial yang ada di Indonesia. Kita memiliki budaya patriarki yang kuat. Dalam budaya ini terbagi dua kelompok gender, yaitu laki-laki dan perempuan.
Menurut,Oktarina Prasetyowati, blogger parenting (www. mamamolilo.com) dan penulis buku, budaya ini mengkonstruksi sifat dan peran kelompok gender, hingga ujungnya menciptakan stereotip atau stigma.
Pria diajarkan bersifat maskulin, kuat, tangguh, jantan, perkasa, dan mandiri. Karena peran yang bakal mereka sandang ialah pemimpin keluarga. Sementara wanita diharuskan bersifat halus, penyabar, penyayang, keibuan, lemah lembut, penurut dan hal yang mencerminkan istri baik (yang melayani suami).
“Nah saat perempuan tidak dalam konstruksi tersebut, maka dia akan dilabeli 'jalang'. Sedangkan pria yang tidak sesuai dengan norma sosialnya disebut banci,“ ungkap Okke – begitu Oktarina biasa dikenal.
Ia berpendapat masyarakat masih menaruh toleransi pada pria bila selingkuh atau gonta-ganti pasangan. Hingga di masyarakat muncul istilah 'playboy.' Dan wanita tidak punya ruang tersebut, yang kalau dilakukan menjadi 'dosa hubungan' yang berat. Sulit untuk dimaafkan.
Padahal, seperti yang Anda sudah tahu, selingkuh bukanlah hubungan satu arah, tapi dua arah. Dan kalau ditanya siapa yang salah, ialah orang yang ada didalamnya. Jangan perempuannya saja yang disalahkan, kata Okke.
Mengapa begitu? Karena perempuan yang selingkuh tidak sesuai dengan konstruksi sifat dan peran gender yang ada dalam budaya patriarki. “Saya bicara begini bukan berarti mendukung perselingkuhan. Cuma saya melihat ada ketidakadilan dari setiap drama perselingkuhan yang saya temukan di media sosial," terangnya.(Qalbinur Nawawi. Dok. Free Pik)