Follow Mother & Beyond untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow Instagram @motherandbeyond_id dan Youtube Mother & Beyond
Setelah melahirkan, para ibu baru bisa saja terserang depresi pasca-melahirkan atau postpartum depression. Hal ini memang sering terjadi, menurut Daily Mail, sekitar 1 dari 9 wanita mengalami depresi pasca-melahirkan. Tidak hanya ibu baru, bayi juga bisa mengalami depresi pasca-melahirkan lho, Moms! Hasil dari penelitian di University of Oregon menjadi bukti bahwa bayi juga bisa mengalami rasa depresi setelah lahir.
Di usia 18 bulan, anak dapat menunjukkan bukti biologis dari stres. Untuk itu, para peneliti pun memelajari pengaruh gejala stres saat hamil dengan kesehatan anak dan sel-sel dalam tubuh. Satu cara untuk mengetahui bagaimana stres dapat memengaruhi kesehatan anak adalah dengan melihat respons balita pada stres yang dialami orang tuanya.
Dari hasil yang didapat, bayi dengan ibu yang depresi cenderung kurang bisa bersosialisasi dan mengalami emosi negatif lebih banyak. Penelitian dilakukan dengan mengajak 48 ibu dengan bayi berusia 12 minggu dan mengikuti kegiatan keluarga tersebut hingga bayi berusia 18 bulan.
Saat usia 6 dan 12 bulan, bayi-bayi tersebut dibawa ke laboratorium untuk dicek kondisinya. Peneliti pun melakukan beberapa hal seperti membuat ibu mengabaikan bayi, salah satu tesnya adalah “still face experiment” atau eksperimen wajah tanpa ekspresi. Di tes ini, para orang tua diminta untuk bermain dengan anaknya, kemudian mengabaikan usaha Si Kecil untuk mencari perhatian. Ternyata hal ini memicu stres pada bayi, karena mereka mengandalkan orang yang mengasuhnya untuk semua hal, tidak hanya untuk memenuhi rasa lapar tapi juga untuk meredam emosi negatifnya.
Untuk melihat still face experiment, klik video di bawah ini:
Stres atau depresi sendiri berarti tubuh kita mengeluarkan hormon kortisol. Maka, liur para responden selalu dites untuk melihat perubahan kandungan kortisol. Peneliti juga mengumpulkan informasi dari banyakan gejala depresi yang dialami para ibu.
Akhirnya, ketika para bayi berusia 18 bulan, para peneliti memelajari lagi sampel liur mereka untuk mengukur panjang telomeres (ujung DNA yang melindungi kromosom). Sebagai analogi, telomeres bagaikan ujung tali sepatu yang dilapisi plastik, fungsinya memastikan tali sepatu bisa keluar masuk lubang sepatu dengan mudah.
Hasilnya, gejala depresi yang lebih parah pada ibu berkaitan erat dengan kadar kortisol pada anak usia 6-12 bulan. Respons stres pada anak dengan kortisol yang lebih tinggi, cenderung memiliki telomeres yang lebih pendek pada usia 18 bulan. Hal ini mengindikasikan masalah kesehatan, Moms. Mengutip The Conversation, orang dengan telomeres yang lebih pendek biasanya mengalami masalah kesehatan seperti diabetes, obesitas, dan bahkan kanker!
Melalui sampel air liur bayi, terlihat bahwa mereka juga mengalami penurunan hormon kortisol tersebut. Penurunan hormon ini pun menjadi lebih signifikan pada bayi dengan orang tua yang mengalami gejala depresi lebih parah dan terlihat pada usia bayi 18 bulan.
Meskipun temuan ini bersifat sebagai pendahuluan dan harus ditindak lanjuti dengan kelompok bayi yang lebih besar, namun hasil penelitian di atas menjadi cambuk orang tua untuk meningkatkan kewaspadaan akan kesehatan jiwa Si Kecil.
Dari penelitian ini pula, orang tua bisa lebih memahami bahwa masa kanak-kanak menjadi periode perkembangan yang sensitif. Anak mulai bisa mengenali dan merespon keadaan lingkungan sekitarnya.
Dengan menjadi orang tua yang positif, anak Anda akan tumbuh dengan lebih sehat, baik secara jasmani maupun rohani. Bagi para ibu, khususnya yang memang memiliki gangguan kejiwaan juga bisa lebih perhatian pada kondisinya agar dapat melakukan perawatan pada kesehatan mental demi tumbuh kembang Si Kecil. (Vonia Lucky/TW/Dok. Freepik)