TOODLER

Pentingnya Meningkatkan Kecerdasan Emosi Anak


Follow Mother & Beyond untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow Instagram @motherandbeyond_id dan Youtube Mother & Beyond


Anak-anak memang selalu penuh dengan kejutan. Mereka bisa berlarian dengan rasa gembira, kemudian mengamuk layaknya banteng, lalu menangis frustasi sambil berguling-guling dengan mainannya di lantai. Anda sebagai orangtua pasti merasa sulit untuk menghadapi tingkah laku Si Kecil tersebut.

Para ahli percaya mengajarkan anak mengelola rasa emosinya serta mampu menenangkan dirinya sendiri adalah cara terbaik yang perlu dilakukan sejak dini, ketika ia sedang mengalami masa pertumbuhan emosi. Karena itulah keluarga berperan besar untuk mengajarkan pelajaran hidup ini.

Dalam buku Emotionally Intelligence Child, psikolog John Gottman menjelaskan saat Anda mengajarkan Si Kecil untuk mengerti dan menangani emosi, seperti rasa marah, frustasi, atau bingung, Anda mengembangkan emotional intelligence quotient (EQ). Menurutnya, anak dengan EQ yang tinggi mampu mengatasi perasaannya, menenangkan dirinya, memahami dan berhubungan dengan orang lain dengan lebih baik, serta dapat membentuk persahabatan yang lebih kuat dibandingkan dengan anak yang memiliki EQ lebih rendah. Sedangkan sebagian ahli yang lain juga menyebutkan EQ berperan untuk membantu anak menjadi sosok yang percaya diri, bertanggung jawab, dan sukses di masa depan dalam menjalin hubungan interpersonal dengan orang lain.

Bagaimana cara Si Kecil memiliki EQ yang tinggi? Dilansir melalui Babycenter, Gottman mengajarkan beberapa taktik yang ia sebut dengan “emotion coaching”, yaitu beberapa langkah untuk mengajari Si Kecil menganalisis berbagai jenis perasaan dan mengatasi konflik yang ada.

Mendengarkan dengan empati
Selalu perhatikan Si Kecil saat ia sedang mengungkapkan perasaannya, lalu tunjukkan empati Anda kepadanya. Misalnya, jika perilakunya sedikit berubah saat adiknya lahir, Anda bisa menanyakan kepada Si Kecil apakah ia merasa tersisih karena kehadiran Sang Adik. Jika jawabannya iya, Anda dapat mengatakan, “Mama memang sedikit sibuk dengan adik bayi.” Setelah itu jelaskan kalau Anda juga pernah merasakan hal yang sama untuk menunjukkan Anda sangat mengerti perasaannya. Dengan melakukan hal tersebut, Anda mengajarkan kepadanya kalau semua orang juga pernah merasakan perasaan yang dialaminya yang nantinya akan menghilang seiring waktu.

Bantu Si Kecil menamai perasaannya
Keterbatasan kosa kata dan pemahaman yang belum sempurna mengenai sebab serta dampak dari sebuah kejadian membuat Si Kecil kerap kali kesulitan untuk mendeskripsikan apa yang ia rasakan. Karenanya, Anda bisa membantu Si Kecil menamai setiap emosi yang dirasakannya. Bila ia terlihat kecewa karena tidak diperbolehkan bermain di taman, Anda dapat mengatakan, “Kamu sedih ya, Sayang?” Anda juga bisa menjelaskan kepadanya jika ia merasakan konflik batin itu adalah hal yang wajar, contohnya perasaan senang sekaligus takut saat kunjungan pertamanya ke daycare.

Tidak mempermasalahkan emosi Si Kecil
Menyalahkan emosi yang ditunjukkan Si Kecil hanya akan membuat takut dan seolah menyuruhnya untuk tidak menunjukkan emosi itu lagi. Jadi, daripada Anda mengatakan, “Jangan marah!” saat ia merasa frustasi dan tantrum karena tidak dapat menyelesaikan puzzle yang dimainkannya, akan lebih baik jika Anda memahami perasaannya. Anda dapat mengatakan, “Kesal ya Nak puzzle ini sulit sekali diselesaikan? Ayo, pelan-pelan coba mainnya.”

Ubah tantrum menjadi media pembelajaran
Jika anak Anda marah saat mendengar ia harus pergi ke dokter gigi, ajak ia ikut andil menyiapkan segala sesuatunya sebelum pergi ke sana. Bicarakan kepada Si Kecil mengapa ia takut, apa yang ia inginkan saat Anda dan dirinya berada di dokter gigi, serta mengapa ia harus pergi. Anda pun bisa memberitahunya kalau Anda juga ketakutan saat pertama kali menemui bos dan seorang teman menghilangkan perasaan itu. Dengan berbicara melalui emosi yang dirasakan akan lebih mengena pada anak-anak maupun orang dewasa.

Gunakan konflik untuk mengajarkan cara menyelesaikan masalah
Saat Si Kecil sedang bermasalah dengan diri Anda atau anak-anak lain, berikan batasan padanya lalu bimbing ia mencari solusi dari masalah tersebut. Sebagai contoh, Anda bisa mengatakan, “Mama tahu kamu marah pada Adik karena sudah menghancurkan balok-balok yang sudah kamu susun, tapi kamu tidak boleh memukul Adik. Apa lagi yang bisa kamu lakukan kalau kamu merasa marah?” Jika ia tidak memiliki ide, Anda dapat memberi beberapa opsi. Spesialis pengelola rasa marah. Lynne Namka, menganjurkan untuk meminta anak Anda mengecek bagian perut, rahang, dan tangannya untuk melihat apakah semua organ tubuh tersebut menegang. Setelah itu minta ia mengatur napas supaya menjadi lebih tenang. Namka pun menjelaskan Anda bisa mengajarinya untuk berbicara lebih tegas saat ia sedang marah. Anak-anak harus tahu mereka boleh saja merasa marah, selama tidak menyakiti orang lain.

Berikan contoh untuk tetap tenang
Periksa kembali reaksi Anda saat menghadapi emosi Si Kecil. Sangat penting bagi Anda untuk tidak mengeluarkan kata-kata yang kasar selama Anda marah. Sebaiknya katakan, “Mama marah kalau kamu melakukan itu!” daripada, “Kamu membuat mama marah,” supaya ia mengerti kalau Anda bermasalah pada perilakunya, bukan pada dirinya. Hati-hati mengkritik berlebihan kepada Anak, sebab itu akan berpengaruh pada kepercayaan dirinya. Yang pasti Anda perlu mengenali perasaan Anda sendiri dahulu. Beberapa orangtua menghindari emosi negatif yang ada di dalam diri sendiri dan berharap anak-anak mengerti perasaan mereka. Itu hanya akan membingungkan anak-anak. Jadi tunjukkan rasa marah atau tidak suka Anda dan bagaimana cara meredakan emosi tersebut secara tenang kepada Si Kecil. (Sagar/OCH/Dok. M&B)