Follow Mother & Beyond untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow Instagram @motherandbeyond_id dan Youtube Mother & Beyond
Berbagai cara dilakukan orang guna mengantisipasi penularan virus corona. Salah satunya adalah dengan melakukan swab antigen sebelum bertemu dengan orang lain atau bepergian.
Namun karena alasan kepraktisan, tidak sedikit orang yang memilih untuk melakukan swab sendiri tanpa bantuan tenaga kesehatan (nakes) atau sosok profesional, seperti petugas lab. Biasanya mereka membeli alat khusus untuk tes antigen dalam jumlah banyak sehingga swab bisa dilakukan kapan saja.
Pertanyaannya, apakah hal tersebut aman untuk dilakukan? Dan apa benar, swab yang dilakukan tanpa bantuan tenaga kesehatan bisa dibilang efektif?
Pro dan kontra soal swab antigen yang dilakukan tanpa bantuan tenaga medis mencuat setelah muncul kisah seorang dokter spesialis THT di media sosial. Dokter tersebut menceritakan bahwa dirinya kedatangan pasien yang kebingungan karena terpapar COVID-19 dari temannya.
Pasien tersebut terinfeksi COVID-19 setelah melakukan saling swab dengan ketiga temannya tanpa bantuan tenaga kesehatan. Setelah diselidiki, salah satu dari mereka terpapar COVID-19. Kontroversi pun berlanjut karena tidak ada seorang pun dari mereka yang menggunakan alat pelindung diri (APD) saat melakukan swab antigen. Belajar dari kisah tersebut, swab antigen disinyalir bisa berdampak negatif apabila tidak dilakukan secara tepat.
Risiko Tertular
Kebanyakan orang yang melakukan swab antigen secara mandiri tanpa bantuan tenaga kesehatan, tidak menggunakan APD. Hal tersebut justru bisa meningkatkan risiko mereka tertular penyakit, khususnya COVID-19.
Pengambilan swab antigen tanpa bantuan tenaga kesehatan dapat memicu keluarnya droplets dari mulut maupun hidung. Dengan begitu, risiko penularan COVID-19 pun menjadi lebih tinggi.
"Bisa saja orang yang dites swab ternyata positif. Kalau dia tidak memperhatikan cara prevention (pencegahan), tidak menggunakan alat pelindung diri yang baik, maka bisa saja dia tertular pada saat melakukan pemeriksaan tersebut," ungkap pengamat kesehatan sekaligus Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Ari Fahriala Syam, melalui akun media sosial miliknya, @dokterari.
Patah dan Tertelan
Selain meningkatkan risiko tertular, melakukan swab antigen tanpa bantuan tenaga profesional sangat tidak disarankan karena berbahaya bagi orang yang akan di-swab. Dampak swab antigen ini bisa terjadi pada mereka yang memiliki struktur hidung yang bengkok atau tidak normal. Struktur ini membuat rongga hidung menjadi lebih sempit. Bila yang melakukan swab tidak memahami struktur tersebut, maka prosesnya bisa menimbulkan rasa sakit yang luar biasa.
Menurut laporan dari jurnal European Respiratory "Complications of Nasal and Pharyngeal Swabs â A Relevant Challenge of the COVID-19 Pandemic?", ada sejumlah komplikasi lain yang mungkin terjadi apabila swab dilakukan secara tidak benar. Dalam jurnal itu disebutkan dua contoh kasus swab yang justru mengancam jiwa. Pasalnya, ujung tangkai yang digunakan untuk melakukan swabpatah.
Pasien pertama, yaitu pria berusia 53 tahun merasakan ada sensasi benda asing dalam hidungnya. Sedangkan pasien kedua, pria berusia 55 tahun, tidak mengalami keluhan tersebut. Namun kedua pasien perlu dirujuk ke klinik THT guna mendapatkan tindakan lebih lanjut.
Selain risiko ujung tangkai alat swab yang patah, swab yang dilakukan secara kurang tepat juga bisa menimbulkan pendarahan. Jika tidak segera ditangani, maka pendarahan tersebut mungkin saja menjadi infeksi.
Hasil Kurang Akurat
Hal lain yang perlu dicermati soal swab antigen tanpa bantuan tenaga profesional adalah soal akurasi pengambilan sampel. Mungkin saja orang awam yang melakukan tes swab sendiri tidak memahami struktur anatomi hidung atau tidak mengetahui bagian mana yang harus diambil sampelnya.
Dengan kata lain, sampel yang diambil bukan berasal dari tempat yang seharusnya menjadi bahan pemeriksaan. Kesalahan pengambilan sampel seperti ini berpotensi memberikan hasil yang tidak tepat. Bisa saja, hasil pemeriksaan yang seharusnya menunjukkan positif, justru menjadi negatif karena sampel yang diambil salah. (Wieta Rachmatia/SW/Dok. Freepik)