TOODLER

Anak Autis juga Bisa Bekerja


Follow Mother & Beyond untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow Instagram @motherandbeyond_id dan Youtube Mother & Beyond


Semua ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus (ABK) pasti akan mengkhawatirkan masa depan mereka. Bagaimana perkembangannya kelak? Apakah ia bisa bersekolah nantinya? Bagaimana dengan kehidupannya setelah dewasa? Bisakah ia bermanfaat untuk orang lain? Adakah yang mau menerimanya bekerja? Pertanyaan-pertanyaan ini 'berkeliaran' di batin para orangtua yang memiliki anak penyandang ABK, termasuk autis.

Menurut Dr. Purboyo Solek, Sp.A (K), Konsultan Neuropediatri dari Asosiasi Disleksia Indonesia, ada aspek-aspek dari penyandang autis yang dapat dioptimalkan agar mereka mampu bekerja dan mandiri, salah satunya dengan melakukan diagnosis. Melalui diagnosis yang akurat, orangtua akan mengetahui bagaimana penanganan dan cara mengoptimalkan aspek pendidikan dan keterampilan seorang ABK.

“Dengan begitu, orangtua bisa menentukan jenis pekerjaan apa saja yang cocok bagi mereka. Dalam prosesnya, orangtua tentu juga perlu dukungan dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah hingga pihak swasta untuk mewadahi dan mengakomodasi keterampilan anak-anak penyandang autisme tersebut,” ungkap Dr. Purboyo dalam seminar media tadi siang (30/04).

Pemberdayaan berupa pendidikan dan pelantikan kerja bagi orang berkebutuhan khusus, termasuk autis memang perlu dilakukan oleh berbagai institusi. Mereka perlu memberikan pelatihan hingga penciptaan lapangan pekerjaan yang telah disesuaikan dengan penyandang autisme yang memiliki kemampuan bekerja.

Beberapa lembaga dan relawan di Indonesia memang sudah ada yang memulai inisiatif tersebut. Salah satunya, Elmar Bouma, Director of Indonesia BeNeLux Chamber of Commerce, yang mempekerjakan salah satu penyandang autis di perusahaannya. Elmar mengaku awalnya ragu mempekerjakan Deni, penyandang autis berusia 22 tahun, sebagai entry data staff. Namun, melihat kemampuan dan keberanian Deni yang fasih berbahasa Perancis saat interview di perusahaannya, Elmar akhirnya berani menerimanya.

“Saat melihat kemampuan yang ia tunjukkan, saya sadar ternyata penyandang autis punya bakat unik tersendiri dan kemampuan yang luar biasa. Deni bekerja tanpa kesalahan yang fatal, daya ingatnya pun luar biasa, dan mampu melakukan pekerjaan dengan cepat. Mereka dapat melakukan pekerjaan, bahkan lebih baik dari yang dilakukan orang normal. Mereka bisa menjadi sesuatu. Mereka juga tidak basa-basi dalam mengungkapkan perasaan mereka,” ungkap Elmar.

Ia juga menambahkan, perusahaan lainnya harus bisa memberi kesempatan kepada para penyandang autis untuk membuktikan kemampuan mereka. “Pemerintah bertanggung jawab untuk membantu mendukung hal tersebut, dengan memberi aksesbilitas atau membangun koneksi antara penyandang autis dengan lapangan pekerjaan untuk mereka,” lanjutnya.

Sebelum memasuki dunia sosial, entah sekolah atau pekerjaan, anak penyandang autis perlu diadaptasikan tentang lingkungan yang akan dihadapi nantinya. “Sebelum masuk bekerja, lingkungan kerjanya juga perlu diberi bekal pengetahuan untuk menghadapi anak-anak ini. Namun, sosialisasi pengetahuan tentang autisme tersebut masih belum optimal di negara kita. Padahal bila dipersiapkan dengan matang, anak-anak autis nantinya juga bisa diperhitungkan di dunia kerja,” tutup Dr. Purboyo. (Aulia/DC/dok.freedigitalphotos)