Follow Mother & Beyond untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow Instagram @motherandbeyond_id dan Youtube Mother & Beyond
Berhitung merupakan salah satu materi dasar dalam belajar matematika. Apalagi di Indonesia, kemampuan berhitung dan pandai matematika merupakan sesuatu yang dianggap sangat penting bagi para orang tua sehingga anak mereka kadang dituntut untuk menjadi pakar di bidang pelajaran satu ini.
Memang mengajarkan berhitung sebenarnya tidak terlalu sulit ya, Moms. Namun, pernahkah Moms melihat ada anak yang sulit memahami proses berhitung? Sudah diajari berkali-kali, ia masih saja tidak mengerti. Jika Anda memiliki anak seperti ini, jangan terburu-buru menghakiminya dan menuduhnya bodoh dan malas ya, Moms. Bisa jadi ia memiliki gangguan yang disebut diskalkulia.
Apa itu diskalkulia?
Dilansir dari laman Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), diskalkulia didefinisikan sebagai suatu kondisi berupa kesulitan anak dalam mempelajari konsep-konsep matematika dasar, (misalnya penjumlahan, nilai, dan waktu), menghafal angka-angka (misalnya tanggal), mengorganisasikan angka, dan memahami sistem penomoran.
Diskalkulia disebabkan karena anak memiliki masalah pada otaknya di bagian frontal dan parietal di mana area tersebut dikaitkan dengan kognisi matematika. Diskalkulia juga bisa dipengaruhi oleh faktor genetik, misalnya salah satu dari orangtua mengalami kesulitan belajar matematika. Selain itu, kelahiran prematur, kebiasaan mengonsumsi alkohol dan obat-obatan saat hamil juga berisiko membuat anak memiliki gangguan diskalkulia.
Gejala diskalkulia
Pada anak usia prasekolah, gejala diskalkulia antara lain adalah:
⢠Memiliki kesulitan dalam memahami angka
⢠Melakukan kesalahan saat menuliskan atau menyalin angka, misalnya menuliskan angka secara terbalik
⢠Bingung dengan simbol-simbol angka yang ada, misalnya antara angka 6 dan 9 atau 0 dan 8
⢠Mengalami kesulitan dalam mengurutkan angka dan kadang menyebut dua kali angka yang sama saat mengurutkannya
⢠Kerap bingung dengan penyebutan angka yang terdengar mirip, misalnya "tiga" dan "lima".
Mendeteksi dan menangani diskalkulia pada anak
Deteksi diskalkulia bisa dilakukan sejak dini pada anak, namun tentunya disesuaikan dengan perkembangan usia Si Kecil. Contohnya, anak usia 4-5 tahun biasanya belum diharuskan untuk mengenal konsep jumlah, hanya konsep hitungan. Anak usia 6 tahun ke atas umumnya sudah mulai dikenalkan dengan konsep jumlah yang menggunakan simbol seperti penjumlahan dan pengurangan.
Menurut Amanda Soebadi dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM, seperti dikutip dari laman IDAI, jika anak mengalami gejala-gejala gangguan belajar seperti diskalkulia, baik dikeluhkan oleh anak sendiri maupun oleh gurunya, segeralah mencari bantuan profesional, baik dokter spesialis anak, psikolog, atau psikiater anak.
Anak mungkin membutuhkan terapi khusus. Terapis akan membuat rencana belajar yang disesuaikan dengan kebutuhan Si Kecil. Banyak anak dengan gangguan belajar dapat tetap belajar bersama dengan teman-temannya dan dapat melakukan hal-hal lain yang lazim dilakukan anak seusianya, seperti berolahraga dan mengikuti kegiatan ekstrakurikuler.
Moms juga bisa membantu Si Kecil mengatasi kesulitannya dengan cara mengajarkan konsep belajar matematika yang lebih ringan dengan bahasa yang mudah dicerna Si Kecil. Sangat penting juga untuk menumbuhkan rasa percaya diri Si Kecil. Anak dengan gangguan belajar sering kali memiliki bakat atau kelebihan lain. Hal ini perlu dikembangkan semaksimal mungkin agar anak tetap percaya diri.
Moms pun tidak perlu merasa khawatir dengan Si Kecil. Banyak orang dewasa yang mengalami gangguan belajar pada masa kecilnya ternyata bisa mencapai sukses baik akademik maupun profesional. Yang penting, dukungan dari orang tua, sekolah, dan lingkungan berperan penting dalam keberhasilan anak. (M&B/SW/Dok. Freepik)